Ibnul Humam (wafat 681 Hijriah) adalah salah seorang ulama mazhab Hanafi. Dalam kitab Fathul Qadir, dia menjelaskan, "Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya sunanh bagi laki-laki. Bagi perempuan, itu merupakan sebuah kemuliaan."
Az-Zaila’i (wafat 743 Hijriah) ialah salah satu ulama mazhab Hanafi pula. Dalam kitab Tabyin al-Haqaiq Syarh Kanzu ad-Daqaiq, dia menulis, "Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami-istri."
Adapun mazhab Maliki memandang, sunat bagi perempuan sebagai kemuliaan. Al-Qarafi (684 Hijriah), salah seorang ulama terkemuka mazhab Maliki menuturkan dalam kitabnya, Adz-Dzakhirah.
"Makruh bagi Imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ketujuh. Sebab, itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Membatasi usia khitan ketika anak berumur tujuh tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka sholat dari umur tujuh hingga 10 tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, ‘Berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan suatu kemuliaan."
Al-Hathab ar-Ru'aini (954 Hijriah), salah seorang ulama mazhab Maliki, menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil, "Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syariat yang mulia."