IHRAM.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika.
Belakangan ini publik Indonesia bahkan dunia terus phobia terhadap kalimat atau seruan jihad. Apalagi, beberapa waktu lalu viral di media sosial seruan adzan yang menerikanna: Khaya"alal Jihad".
Soal ini kemudian juga telah tinggapi oleh cendikiawan dan budayawan, Emha Ainun Nadjib. Dalam tayangan vidoe yang tersebar di Toutube, Emha diantaranya menyatakan bila telah ada sebagian kaum Muslim yang sudah tidak tahan atas terjadinya penindasan terhadap Kaum Muslim. Ini terjadinya dengan hancurnya negara-negara di Timur Tengah misalnya Libya dan Irak oleh kekuatan global. Ajaran Islam terus disalah pahami.
Pada sis lain, misalnya pada soal ketaatan kepada protokol kesehatan, sebenarnya juga termasuk jihad. Dalam sebuah perbincangan melalui WA cendikiawan Azyumardi Azra pun mengatakan memakai masker, menuci tangan dan menjaga jarak saat itu juga sebuah jihad.
"Jihad itu artinya bersunggung-sungguh. Jadi mentaati protokol kesehatan di masa pandemi Covid-19, juga bisa disebut Jihad," kata Azyumardi Azra.
Namun memang dalam kaca mata barat sebagai sisa dari kolonialisme kata Jihad memang begitu menakutkan. Kata inilah yang dipakai pejuang Muslim untuk melawan ketidakadilan kolonial. Maka Jihad bagi mereka --seperti juga dikatakan Emha Ainun Nadjib -- identik dengan "breng" (perang, bhs Jawa).
Dan bila merunut kebelakang kata Jihad misalnya muncul secara tegas dalam kancang Perang Jawa yang terjadi selama lima tahun di tahun 1825-1830. Dalam perang yang dipimpin Raden Mas Mutahar atau Pangeran Diponegoro ini seruan "jihad" dalam makna memerangi kolonial memang tak sekedar punya penyebab tunggal. Atau, misalnya semata merupakan rasa kejengkelan kepada penjajah semata.
Dalam seruan jihad saat itu indikasi penyebabnya bermacam-macam alias tidak tunggal. Ada yang bersifat internal kraton Mataram Islam di Yogyakarta misalnya persaingan politik antar pangeran.
Pada sisi lain, jihad yang bermakna perang melawan kolonial kala itu juga terjadi akibat penderitaan hidup dan persoalan ekonomi yang ada di Hindia Belanda setelah bubarnya VOC. Ada juga soal goncangnya tata kehidupan lama dunia atau persoalan internasional akibat munculnya revolusi Industri dan Revolusi Prancis.
Bahkan selain tu penyebabnya juga ada persoalan perubahan iklim dunia dengan meluasnya wabah kolera akibat gunung meletus Tambora di Sumbawa yang maha dahsyat.
Persoalan lainnya juga terjadinya kesenjangan sosial di mana jurang kaya miskin di masyarakat sudah begitu lebar. Ibarat sebuah sumbu petasan, semua yang awalnya menyala di awal, kemudian mencapai puncak ledakannya kala menjadi soal agama. Saat itu berubah menjadi perang atau tindak kekerasan.
Dalam agama Islam pun saat itu terjadi perubahan. Ide tentang persatuan Islam mulai masuk. Kalangan pelajar dan ulama di pusat-pusat pengajaran Islam, misalnya di Makkah dan Mesir, sudah merasakannya betapa umat Islam kala itu hidup miskin dan terhina di bawah cengkeramanan kaum kolonialis.
Salah satu ekpresinya adalah terjadi peribahan dalam kelompok tarikat. Aliran keagaam yang semua kerap disehut jumud dan hanya mementingkan sikap eksoteris pribadi ini tiba-tiba berubah. Kala itu ada tarekat baru dari kaum suni (nasqabandiyah), yakni berupa tarikat . satariyah.
Nama tarikat tersebut mengambil "nisbat" dari sosok pendirinya Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania dengan nama Isyqiyah. Tarikat inilah yang mengorbankan perlawanan di dunia Islam yang terbentang dari Afrika bagian utara hingga Asia Tenggara.
Dan Jejak para pengikut tarekat ini sampai ke Jawa atau Nusantara. Ini misalnya tampak dari sosok pangeran asal Yogyakarta yang menjadi pendiri tua di dekat Madiun yang tak jauh dari Gunung Lawu, yaitu Pesantren Takeran. Di masa kini dari pesantren lahir sosok penting, seperti Ketua MPR tahun 1980-an, Jendral M Kahis Suhud dan bos Jawa Pos sekaligus mantan menteri era Presiden SBY, Dahlan Iskan.
Keterangan foto: Suasana Pesantren Takeran. yang didirkan seorang pangeran dari Jogjakarta yang ikut menjadi panglima perang dalam Perang Jawa.
Maka, bekat aliran Satariyah ini tarikat tidak lagi hanya bersifat eksetoris atau melihat ke dalam sisi pribadi manusia saja seperti lazimnya, tapi sudah berubah menjadi sebuah gerakan sosial berupa perlawanan terhadap penindasan kolonial di Jawa dan Nusantara.
Maka tak ayal lagi, saat itu seruan jihad melawan kolonial waktu itu semakin ramai diperbicangkan. Apalagi jauh-jauh hari sebelunya, yakni sekitar tahun 1780 M ada surat dari Syekh Abdul Shamad Al Palembani yang menjadi imam di Masjidil Haram sempat bersurat kepada para Raja Jawa, seperti Paku Buwono IV untuk melakukan perang suci terhadap Belanda.
Seruan jihad itu disalin dan kemudian banyak di tempel di berbagai masjid yang kala itu bertepatan dengan menjelang tibanya bulan Ramadhan.
Situasi ini makin klop dengan latar belakang Diponeoro yang didik secara santri oleh neneknya yang berasal dari Madura dan merupakan cucu seorang ulama. Bahkan konon, neneknya itulah yang memberikan teladan dan pembelajaran kepada Dipongero untuk hidup secara aksetis sebagai seorang Muslim.
Ini semakin masuk akal, karena eyangnya yakni Sultan Hamengku Buwono I selaku pendiri Kraton Yogyakarta adalah seorang Muslim. Bahkan dia adalah anak pesantren. Tempat belajarnya adalah salah satu Pondok Pesantren tua yang ada di Ponorogo. Ini makin kental karena dia juga keturunan "duriat Rasulullah" atau lebih dikenal sebagai keturunan Arab dari keluarga Basyaiban.
Peneliti Diponegoro asal Inggris Pater Carey dalam banyak perbincangan kerap mengatakan jauh-jauh hari di masa kecilnya, sang eyang yakni Sultan Hamengku Buwono I pun sudah meramal bila cucunya kelak akan menjadi orang yang berani atau jagoan di dalam melawan Belanda.
Dalam banyak kesempatan ketika menimang bayi cucunya yakni Raden Antawirya alias Raden Mas Abdul Hamid (di kala dewasa dan memimpin perang Jawa kemudian memakai nama Pangeran Diponegoro), hal itu sering dia ucapkan. Bakat alamnya berupa pukulan tangan yang keras membuat eyangnya yakin bila dewasa sang cucu ini akan menjadi orang yang "jadug" atau jagoan pemberani.
Jadi kata dan makna jihad bukanlah perang semata, tapi sebuah sikap bahwa ada dari sebuah tindakan yang harus dilakukan "secara bersungguh-sungguh" dengan segenap jiwa raga.
Maka jangan salah makan, minum, bermain, hingga menulis pun bisa dimaknai sebagai jihad!
Disclaimer: Semua artikel di kanal Sindikasi ini berasal dari mitra-mitra Viva Networks. Isi berita dan foto pada artikel tersebut di luar tanggung jawab Viva Networks.