Menjijikkan, sebagai terjemahan dari ungkapan kata “Khobaits” yang disebutkan dalam nash, itu artinya bertentangan dengan naluri kemanusiaan yang normal, sehingga akan selalu dihindari orang. Memang, menjijikkan itu sendiri sangat relatif. Misalnya, bagi orang tertentu, buah durian sangat menjijikkan. Mencium aroma atau baunya saja, langsung mau muntah. Sehingga, membahayakan bagi dirinya. Maka, bagi orang itu, durian menjadi terlarang. Karena itu, sebagian ulama menjelaskan “Khobaits” bermakna menjijikkan itu adalah najis. Karena, boleh dikata, semua orang tentu akan merasa jijik dengan najis.
Ulat itu kalau termasuk khobaits, menjijikkan, maka hukumnya haram untuk dikonsumsi. Sedangkan kalau tidak termasuk khobaits, maka hukumnya boleh atau halal. Karena ada pendapat ulama, kalau ulat itu hidup di lingkungan atau dari pakan yang halal, maka hukumnya halal pula untuk dikonsumsi.
Sebaliknya, kalau pakannya dari barang yang haram atau najis, maka hukumnya juga haram. Seperti ulat atau belatung yang hidup dan makanannya dari bangkai, maka hukumnya haram. Sedangkan kalau ulat itu hidup di dalam buah, misalnya buah mangga atau kacang panjang, lalu termakan, maka itu tidak masalah dari sisi agama. Dari sini maka dapat dipahami, kalau ulat itu dibudidayakan, maka harus diketahui terlebih dahulu pakannya.
Meskipun demikian, secara spesifik dapat dijelaskan bahwa Ulat Jerman itu merupakan bagian dari tahapan metamorfosa kumbang. Menurut pendapat sebagian ulama, secara fisikal, tampilan fisik, Ulat Jerman itu memiliki unsur Istiqdzar atau menjijikkan, termasuk bagian dari Khobaits dalam pengertian yang umum. Kalau memang bisa disimpulkan termasuk Istiqdzar secara umum, maka mengonsumsi Ulat Jerman itu menjadi terlarang. Karena, ia bersifat Khobaits. Tetapi, jika dengan berbagai alasan, Ulat Jerman itu tidak termasuk Istiqdzar, maka ia tidak termasuk Khobaits, dan berarti tidak haram. Bisa dihukumi sama dengan hewan/serangga Cochineal yang difatwakan halal oleh Komisi Fatwa (KF) MUI. Atau, juga seperti laron yang juga halal dan lazim dikonsumsi oleh sebagian masyarakat.
Lebih lanjut lagi, menurut para ulama, ulat itu merupakan salah satu jenis hewan yang termasuk ke dalam kategori al-Hasyarot dan dapat diqiyashkan atau dianalogikan sama dengan cacing.
Berkenaan dengan hal ini, dalam Fatwa yang telah ditetapkan oleh Komisi Fatwa MUI, dan telah pula dipublikasikan dalam buku Himpunan Fatwa MUI, hal 636-638, disebutkan bahwa sebagian ulama ada yang berpendapat halal hukumnya memakan cacing, sepanjang ia bermanfaat, dan tidak membahayakan. Ini merupakan pendapat Imam Malik, Ibn Abi Laila, dan Al-Auza’i. Namun, ada pula pendapat ulama yang mengharamkan memakannya.
Berikutnya, membudidayakan cacing untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan, maka hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sedangkan membudidayakan cacing ini untuk diambil sendiri manfaatnya secara tidak langsung, misalnya untuk pakan burung, tidak untuk dikonsumsi manusia, maka hukumnya boleh (mubah).