Hal senada diungkapkan Abu Hanifah yang mengatakan bahwa musik hukumnya makruh dan mendengarkannya termasuk perbuatan dosa. Pendapat Abu Hanifah ini, didukung oleh sebagian besar ulama Kufah, seperti Sofyan Al-Tsauri, Himad, Ibrahim, Syu’bi dan ulama lainnya. Pendapat-pendapat di atas dinukil dari Al-Qadi Abu Tayyib Al-Tabari.
Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib Al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bi Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah, dan sahabat Nabi lainnya suka mendengarkan musik.
Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah mentradisi di kalangan ulama salaf ataupun para tabi’in. Bahkan, kata Abu Thalib, ketika dia, berada di Mekah, pada saat peringatan hari-hari besar, orang-orang Hijaz merayakannya dengan pagelaran musik.
Tradisi seperti itu juga dilakukan oleh orang-orang Madinah. Seperti yang diakui sendiri oleh Abu Thalib bahwa dia pernah melihat Qadi Marwan memerintahkan budak perempuannya untuk bernyanyi di hadapan orang-orang sufi. Al-‘Ata juga memiliki dua budak wanita, yang keduanya pandai bernyanyi dan sering dipentaskan di depan saudara-saudaranya.
Suatu ketika Abi Hasan bin Salim ditanya Abi Thalib, “Mengapa engkau melarang mendengarkan musik, sementara al-Junaedi, Sirri Al-Saqati dan Dzunnun al-Misri senang mendengarkan musik?” Hasan bin Salim menjawab, “Saya tidak pernah melarang orang mendengarkan musik, sebagaimana halnya orang-orang yang lebih baik dariku. Aku hanya melarang bermain dan bersenda gurau dalam mendengarkan musik.”
Sementara itu, menurut Al-Ghazali, baik Alquran maupun Hadits, tidak satupun yang secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadits yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar.