Sahijab – Nasib orang-orang yang berlawanan dengan penguasa itu tidak mengenakan. Mereka selalu ditindas. Lihatlah banyak alim ulama, mereka tidak memiliki posisi apa pun, tetapi mereka menjalani hidup dengan cacian dan siksaan.
Imam Ahmad bin hambal, misalnya, sempat merasakan penjara dan siksaan dari penguasa, karena mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan penguasa yang berfaham Mu'tazilah yang menganggap Alquran adalah makhluk.
Begitu juga, yang dialami Ibnu Taimiyyah. Ia ditangkap oleh penguasa, kemudian dijebloskan ke penjara, setelah mengeluarkan fatwa larangan untuk berziarah ke masjid dan kuburan, kecuali masjidil haram, masjidil nabawi, dan baitul maqdis, sebagaimana disebutkan dalam sabda nabi, karena aktivitas ziarah yang dilakukan kaum muslimin saat itu mengalami banyak penyimpangan akidah dan berkembangnya kesyirikan.
Baca juga: Bukan Kematian Ulama yang Dikhawatirkan, Tapi...
Selama di dalam penjara, Ibnu Taimiyyah dilarang untuk menulis, kecuali hanya membaca Alquran, berzikir dan sholat. Beliau menghembuskan napas terakhir di atas sajadah, saat tengah membaca Alquran.
Allah ta’ala mengangkat derajat para ulama, seperti disebutkan dalam Alquran, yang artinya, “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali 'imran: 18)
Imam Al Qurtubi mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil keutamaan ilmu dan kemuliaan para ulama. Seandainya adalah seseorang yang lebih mulia dari ulama, pasti Allah menyebutkannya bersama-sama dengan nama-Nya dan para malaikat. Seandainya saja ada sesuatu yang lebih mulia dari ilmu, pasti Allah telah menyuruh nabi-Nya untuk meminta tambahan dari-Nya, sebagaimana Allah menyuruhnya untuk meminta tambahan ilmu.