Rahasia Gelar Haji di Indonesia: 5 Fakta Mengejutkan yang Belum Banyak Diketahui. Gelar Haji ternyata memiliki sejarah politik yang unik.
Gelar Haji di Indonesia memiliki sejarah yang unik dan menarik. Biasanya, gelar ini diberikan kepada warga Indonesia yang telah menunaikan ibadah haji. Mereka mendapatkan gelar "Haji" untuk laki-laki dan "Hajah" untuk perempuan. Namun, tahukah Anda bahwa gelar ini bukan berasal dari Arab atau syariat Islam?
Asal-usul gelar haji di Indonesia berasal dari masa kolonial Hindia Belanda. Pada abad ke-19, pemerintah kolonial Belanda khawatir bahwa jamaah haji yang pulang dari Makkah akan membawa ajaran baru yang dapat memicu pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Oleh karena itu, pemerintah kolonial mulai memberikan gelar haji sebagai cara untuk mengidentifikasi dan mengawasi mereka yang telah pergi haji.
Politik di balik gelar haji sangat kompleks. Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada tahun 1810-an, mulai memandang jamaah haji sebagai ancaman potensial. Daendels memerintahkan para jamaah haji untuk mengurus paspor haji sebagai penanda. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pengawasan terhadap mereka yang telah pergi haji.
Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris, juga memiliki pandangan serupa. Dalam catatan sejarahnya, Raffles mengecam jamaah haji karena dianggap sok suci dan berpotensi menghasut rakyat untuk berontak. Kebijakan politis haji kemudian diterapkan secara menyeluruh pada tahun 1859 melalui aturan khusus yang mengatur mekanisme penerimaan orang yang baru pulang haji.
Mekanisme pengawasan ini melibatkan serangkaian ujian bagi para jamaah haji yang baru pulang. Jika mereka lulus ujian, mereka diharuskan menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Selain itu, mereka juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, seperti jubah ihram dan sorban putih.
Latar belakang aturan ini berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah kolonial. Di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji, salah satunya adalah Perang Jawa (1825-1830). Oleh karena itu, pemerintah kolonial mengambil langkah-langkah preventif untuk mengawasi dan mengendalikan aktivitas jamaah haji.
Sayangnya, arus dekolonisasi di Indonesia pasca-kemerdekaan tidak melunturkan panggilan politis tersebut. Alhasil, panggilan itu tetap terwariskan lintas generasi. Meskipun gelar haji bukan lagi digunakan untuk tujuan politik, tradisi ini masih berlanjut hingga saat ini.
Gelar haji di Indonesia memiliki sejarah yang kaya dan kompleks. Awalnya, gelar ini diberikan oleh pemerintah kolonial sebagai alat pengawasan, namun seiring waktu, gelar haji telah menjadi bagian dari budaya dan tradisi masyarakat Indonesia. Meskipun gelar ini tidak berasal dari Arab atau syariat Islam, ia tetap memiliki makna penting bagi jamaah haji dan keluarganya.