“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS Maryam: 33).
Pada ayat tersebut, Nabi Isa ala’ihis salam berdoa, agar diberikan limpahan kesejahteraan pada hari kelahiran, hari wafat, dan hari kebangkitannya kembali. Dengan demikian, merayakan hari ulang tahun, disertai lantunan doa agar orang yang berulang tahun diberikan umur panjang dan limpahan kesejahteraan, diperbolehkan.
Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Abu Qatadah radhiyallau anhu:
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِىِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الاِثْنَيْنِ قَالَ: «ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ».
Dari Abi Qatadah al-Anshari radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau bersabda: “Itu adalah hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus sebagai Rasul atau diturunkan wahyu kepadaku.”
Pada hadits tersebut, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan alasan beliau berpuasa di hari Senin, bahwa hari itu merupakan hari dilahirkan dan diutusnya Nabi shallallahu alaihi wasallam. Artinya, hadits itu memberi isyarat bahwa hari kelahiran seseorang merupakan hari yang penuh nikmat, sehingga wajib disyukuri. Hadits itu juga memberi isyarat kebolehan merayakan hari-hari penuh nikmat, seperti hari kelahiran.
Di samping itu, perayaan hari ulang tahun masuk dalam kategori adat atau tradisi, bukan ibadah, maka tidak bisa dikategorikan sebagai bid’ah. Karena, bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata. Imam Syathibi berkata: