Salah satu elemen paling mencolok dari lagu ini adalah paduan suara anak-anak yang direkam dari sekolah di Islington, London. Produser Bob Ezrin, yang juga terlibat dalam lagu "School’s Out" milik Alice Cooper, mengusulkan ide ini. Suara 23 anak yang di-overdub hingga terdengar seperti paduan suara besar membuat Waters yakin lagu ini akan berhasil. Ezrin juga menyarankan penggunaan beat bergaya disko, yang awalnya mengejutkan banyak penggemar. Namun, keberanian bereksperimen inilah yang membuat lagu ini menjadi salah satu hit terbesar Pink Floyd.
Lagu ini sempat menuai kontroversi, terutama dari para guru yang keberatan dengan pesan anti-sekolah. Ironisnya, anak-anak yang terlibat dalam rekaman tidak menerima royalti secara langsung dan baru dilacak keberadaannya puluhan tahun kemudian untuk penyelesaian hak cipta. Pada tahun 1990, Roger Waters membawakan lagu ini dalam pertunjukan megah The Wall – Live in Berlin untuk merayakan runtuhnya Tembok Berlin. Lagu ini terus digunakan dalam konteks sosial-politik, termasuk dalam konser Live Earth tahun 2007, bahkan ditolak oleh Waters ketika Facebook hendak menggunakannya untuk kampanye iklan.
Awalnya, lagu ini hanya dirancang sebagai potongan pendek dalam alur album. Namun, Ezrin meyakinkan Pink Floyd bahwa lagu ini bisa berdiri sendiri. Hasilnya, "Another Brick in the Wall (Part 2)" menjadi nomor satu di banyak negara, termasuk Inggris dan Amerika. Lagu ini bahkan menjadi Christmas #1 terakhir di era 1970-an dan yang pertama di dekade 1980-an.
Lagu "Another Brick in the Wall Part 2" tidak hanya menjadi hit komersial, tetapi juga karya yang menginspirasi generasi untuk berpikir kritis tentang sistem pendidikan dan otoritas.