• Photo :
        • Itikaf Akhir Ramadan,
        Itikaf Akhir Ramadan

      Sahijab Style – Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah. Banyak kegiatan di bulan Ramadhan yang bisa dimanfaatkan umat muslim untuk mencari keberkahan dan amalan. Seperti halnya dengan itikaf yang biasa dilakukan saat sepuluh hari terakhir.
      Pengertian itikaf

      Dikutip dari NU Online, itikaf menurut pengertian bahasa berasal dari kata ‘akafa–ya’kifu–ukufan. Bila kalimat itu dikaitkan dengan kalimat “an al-amr” menjadi "akafahu an al-amr" berarti mencegah. 

      Jika dikaitkan dengan kata "'ala" menjadi "akafa ‘ala al-amr" artinya menetapi. Pengembangan kalimat itu menjadi i’takafa-ya’takifu-i’tikafan artinya tetap tinggal pada suatu tempat. Kalimat I’takafa fi al-masjid berarti “tetap tinggal atau diam di masjid”.

      Sementara menurut pengertian istilah atau terminologi, itikaf adalah tetap diam di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beribadah, dzikir, bertasbih dan kegiatan terpuji lainnya serta menghindari perbuatan yang tercela.

      Hukum itikaf

      Hukum itikaf adalah sunnah, dapat dikerjakan setiap waktu yang memungkinkan terutama pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. 

      Dari Aisyah r.a. isteri Nabi s.a.w. menjelaskan, “Sesungguhnya Nabi SAW melakukan itikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan itikaf sepeninggal beliau”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006).

      Dari Ubay bin Ka'ab r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. beritikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beritikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beritikaf selama dua puluh hari”. (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud: 2107, Ibn Majah: 1760, dan Ahmad: 20317).

      Itikaf di luar bulan ramadhan

      Sementara itu, beritikaf di luar bulan Ramadhan, dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:

      Nabi SAW biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian aku memasang tirai untuk beliau, lalu beliau mengerjakan shalat Shubuh, kemudian beliau masuk ke dalamnya. Hafsah kemudian meminta izin pada Aisyah untuk memasang tirai, lalu Aisyah mengizinkannya, maka Hafsahpun memasang tirai. Waktu Zainab binti Jahsyi melihatnya, iapun memasang tirai juga. Pagi harinya Nabi s.a.w. menjumpai banyak tirai dipasang, lalu beliau bertanya: “Apakah memasang tirai-tirai itu kamu pandang sebagai suatu kebaikan?”. Maka beliau meninggalkan itikaf pada bulan itu (Ramadhan itu). Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari  dari bulan Syawal (sebagai gantinya)”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1892 dan Muslim: 2007). 

      Rukun dan syarat itikaf 

      Rukun itikaf terdiri dari: Pertama niat itikaf, baik itikaf sunnah atau itikaf nadzar. Jika seorang muslim bernadzar akan melakukan itikaf, maka baginya wajib melaksanakan nadzar tersebut dan niatnya adalah niat itikaf untuk menunaikan nadzarnya. 

      Kedua yakni berdiam diri dalam masjid, sebentar atau lama sesuai dengan keinginan orang yang beritikaf atau mutakif. Itikaf di masjid bisa dilakukan pada malam hari ataupun pada siang hari.  

      Syarat itikaf yakni seorang muslim, bagi non muslim tidak sah melakukan itikaf. Syarat kedua yakni berakal, orang yang tidak berakal tidak sah melaksanakan itikaf. Ketiga yaitu suci dari hadats besar. 

      Yang membatalkan itikaf 

      Itikaf di masjid menjadi batal disebabkan beberapa hal. Pertama yaitu bercampur dengan istri, berdasarkan firman Allah SWT“…Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid, itulah ketuntuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:187). 

      Sebab yang kedua yakni keluar dari masjid tanpa udzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada udzur, misalnya buang hajat atau buang air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan itikaf. 

      Diperbolehkan keluar dari masjid, karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. 

      Dari Aisyah r.a. mengatakan, “Nabi s.a.w. apabila beritikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil)”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan