• Photo :
        • Jemaah haji Indonesia ibadah Arbain di Masjid Nabawi,
        Jemaah haji Indonesia ibadah Arbain di Masjid Nabawi

      Sahijab – Suatu waktu, Abdullah bin Mubarok (118-181 H/726-797 M), berkeinginan pergi haji. ia bekerja keras mengumpulkan uang. Iapun melaksanakan niatnya, menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci. Ketika sudah selesai mengerjakan berbagai tahapan ibadah haji, ia tertidur.

      Baca juga: Jelang Puncak Ibadah Haji, Kain Kiswah Penutup Kabah Diganti​

      Dalam tidurnya, ia bermimpi menyaksikan dua orang malaikat turun ke bumi. Kedua malaikat ini pun terlibat dalam perbincangan. “Berapa banyak jamaah yang datang tahun ini?” tanya malaikat yang satu kepada malaikat lainnya. “Enam ratus ribu orang,” jawab malaikat lainnya. “Tapi, tak satu pun diterima, kecuali seorang tukang sepatu bernama Muwaffaq yang tinggal di Damsyik (Damaskus). Dan, berkat dia, maka semua jamaah yang berhaji diterima hajinya,” kata malaikat yang kedua.

      Ketika Ibnu Mubarok mendengar percakapan malaikat itu, terbangunlah ia. Ia pun berkeinginan mengunjungi Muwaffaq yang tinggal di Damsyik. Ia telusuri kediamannya dan kemudian menemukannya.
       
      Ibnu Mubarok menyampaikan mimpi yang didapatnya. Mendengar cerita itu, maka menangislah Muwaffaq hingga akhirnya jatuh pingsan. Dan, setelah sadar, Muwaffaq menceritakan bahwa selama lebih dari 40 tahun, dia berkeinginan untuk melakukan ibadah haji. Karenanya, dia pun mengumpulkan uang untuk itu. Jumlahnya sekitar 350 dirham (perak) dari hasil berdagang sepatu.

      Ketika musim haji tiba, ia mempersiapkan diri untuk berangkat bersama istrinya. Menjelang keberangkatan itu, istrinya yang sedang hamil mencium aroma makanan yang sangat sedap dari tetangganya. Muwaffaq pun mendatanginya dan memohon agar istrinya diberikan sedikit makanan tersebut. Tetangganya ini langsung menangis. Ia lalu menceritakan kisahnya.

      “Sudah tiga hari ini anakku tidak makan apa-apa,” katanya. “Hari ini, aku melihat seekor keledai mati tergeletak dan kemudian aku memotongnya, lalu kumasak untuk mereka. Ini terpaksa kulakukan karena kami memang tidak punya. Jadi, makanan ini tidak layak buat kalian karena makanan ini tidak halal bagimu,” terangnya sambil menangis.

      Mendengar hal itu, tanpa berpikir panjang Muwaffaq langsung kembali ke rumahnya mengambil tabungannya 350 dirham untuk diserahkan kepada keluarga tersebut. “Belanjakan ini untuk anakmu. Inilah perjalanan hajiku,” ungkapnya. Kisah ini memberikan pelajaran bagi kita bahwa sesungguhnya haji adalah amal yang utama. Namun, menyantuni anak yatim, orang miskin, dan telantar merupakan amal yang lebih utama.

      Jadi, peningkatan komitmen sosial inilah yang menjadi kemabruran ibadah haji seseorang. Setelah pulang dari kota suci, ia menjadi pribadi yang baik, lebih terbuka, dan mementingkan dimensi sosial. Itulah sebabnya mengapa haji mabrur dipandang sebagai jihad yang utama (HR. Bukhari no.1520).

      Kemabruran inilah yang diharapkan ada pada setiap orang yang telah melaksanakan Ibadah Haji. Namun, sebagaimana dalam kisah tersebut di atas, bahwa ada yang memperoleh predikat mabrur meskipun tidak melaksanakan ibadah haji.

      Kisah di atas, merupakan salah satu kisah saja, ada beberapa kisah lain yang ditulis di beberapa kitab yang menggambarkan orang yang mendapatkan predikat Mabrur, meskipun tidak berangkat haji. Tidak menutup kemungkinan, calon jamaah yang gagal berangkat karena pandemi Covid-19 akan mendapatkan kemabruran, kemulyaan yang tidak kalah dengan mereka yang telah melaksanakan Ibadh Haji.
       
      Covid-19 telah membuyarkan impian ribuan orang menunaikan Ibadah Haji tahun ini, banyak di antaranya yang hidup sangat hemat untuk dapatnya menabung dan menunaikan Rukun Islam kelima tersebut, yang diwajibkan bagi yang mampu untuk melaksanakannya.

      Meskipun demikian, tidak ada larangan bagi yang belum benar benar mampu untuk tetap melaksanakan Ibadah Haji. Begitupun dengan yang pernah melaksanakan Ibadah Haji, ada kenikmatan rohani yang biasanya orang yang telah melaksanakan ibadah haji berharap ingin kembali melaksanakannya, meskipun ketika beribadah mereka mengalami cobaan dan ujian, mereka akan mendapatkan kenikmatan spiritual dan keimanan yang semakin tinggi.

      Banyak alasan bagi seseorang berangkat menunaikan rukun Islam kelima tersebut, ada yang benar-benar berangkat karena sudah mampu, ada juga yang berangkat karena dibiayai anaknya atau orang lain, juga yang berangkat haji dengn mengemban tugas Negara sebagai petugas haji.

      Pandemi ini bukan hanya membatalkan pemberangkatan haji tahun ini, namun juga berimbas pada antrean bagi pendaftar haji yang ingin mendapatkan nomor porsi. Animo masyarakat yang ingin berangkat haji dengan dibuktikan dengan semakin lamanya antrean untuk mendapatkan nomor porsi tersebut membuktikan bahwa kesadaran masyarakat untuk melaksanakan salah satu kewajibannya dalam beragama semakin tinggi, begitu juga dengan kewajiban yang berkaitan dengan peningkatan komitmen sosial dari Ibadah haji tersebut.

      Tidak ada jaminan bagi jamaah haji yang mengalami penundaan keberangkatan karena Covid-19, dapat berangkat seluruhnya tahun ini. Hal ini, terkait dengan Istithaah Kesehatan calon jamaah haji yang mungkin akan ada perubahan pada tahun yang akan datang.
       
      Peningkatan komitmen menjadi lebih baik diperlukan bukan hanya kepada orang yang telah melaksanakan Ibadah Haji, namun juga kepada mereka yang telah mendaftar dan menunggu antrean untuk berangkat haji, karena kemabruran bukan hanya didapatkan dari mereka yang telah melaksanakan haji, namun juga bisa didapatkan dari mereka yang benar benar ikhlas mementingkan dimensi sosial bagi sesama tanpa menunggu keberangkatan haji yang belum tentu dapat dilaksanakan karena kondisi.

      Demikian, seperti dikutip Sahijab dari tulisan Syafaat, penyusun bahan Pembinaan Keluarga Sakinah Kementerian Agama Kab. Banyuwangi.

      Baca juga: Jadi yang Terbaik di Muka Bumi, Ini 10 Manfaat Air Zam Zam bagi Tubuh​

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan