• Photo :
        • Ilustrasi Gurun Pasir,
        Ilustrasi Gurun Pasir

      Sahijab – Menurut sejarawan barat George Sarton, tokoh kita ini telah melakukan perjalanan dunia sejauh 75.000 mil, melalui jalan darat dan lautan, melebihi jarak yang ditempuh oleh Marco Polo dan Christopher Colombus. Ya, dialah Ibnu Battutah.

      Lahir di Tangier (baca: Tanjir), Maroko, pada tahun 1304 Masehi, bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim at-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah, atau lebih dikenal dengan Ibnu Battutah.

      Sejatinya, Battutah bukanlah penakluk wilayah dan berkelana untuk menguasai dunia... bukan. Ia hanyalah pemuda biasa yang gemar belajar ilmu agama dan sastra, dan ini yang membawanya berkelana mencari ilmu dan pengalaman hidup dan hobinya sejak kecil adalah membaca di tepi pantai, sembari membayangkan negeri-negeri seberang.

      Baca juga: Kisah Sahabat Nabi, Abu Bakar yang Patut Diteladani​

      Battutah dibesarkan dalam keluarga yang taat dalam menjaga tradisi Islam, nyaman mendalami ilmu-ilmu fikih, ilmu geografi, ilmu alam semesta, ilmu sastra, dan syair Arab. Bahkan, di umur yang masih muda, Ibnu Battutah mampu menghafal Alquran hingga 30 juz.

      Di zaman itu, Islam menyebar sangat pesat di wilayah Andalusia, Afrika Utara, Maroko, Libya, dan seterusnya. Tak heran, jika pelabuhan- pelabuhan besar tersedia dan menjadi pintu gerbang pertukaran budaya. Perjalanan spiritualnya keliling dunia di mulai, ketika Battutah berpamitan kepada ayahnya untuk berhaji. Ini menarik, karena hari ini banyak orang keliling dunia menghabiskan uang, tetapi belum juga berhaji. Padahal, Islam mengajarkan bahwa perjalanan ke manapun harus bertujuan untuk ibadah. 

      Meski berat hatinya meninggalkan rumah dan orang-orang yang dicintainya di usia 21 tahun, Ibnu Battutah tetap meninggalkan kampung halaman, demi untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur.

      Perhatikan bahwa sejak berpamitan di usia 21 tahun, Ibnu Battutah tidak kembali lagi sampai usianya 45 tahun dan inilah kisah serial kisah Ibnu Battutah berkelana dunia sejauh 120 ribu kilometer, singgah di 44 negara selama 34 tahun dari tanah kelahirannya, Tangier, Afrika Utara, ia melakukan perjalanan melewati Libya, Al Jazair, Tunisia hingga memasuki wilayah Mesir.

      Ibnu Batutah menggunakan jalur yang tidak biasa dilalui para jamaah haji, yaitu melalui Gurun Sinai dan menyebrangi Laut Merah. Namun, sesampainya di tepi Laut Merah, Ibnu Batutah sadar bahwa situasi dan kondisi di sana sangat jauh dari harapan.

      Kondisi tidak memungkinkan untuk menyeberangi lautan menuju Jeddah, Ibnu Battutah pun kemudian berputar arah dan berniat kembali ke titik jalur yang biasa dilalui para jamaah haji, yaitu jalur Syam menuju jalur itu, ia justru mendapatkan keuntungan. Sebab, selain dapat melakukan perjalanan bersama kafilah yang terdiri dari ribuan jamaah muslim, ia sempat singgah di Al Quds, Palestina.

      Melalui enam tahun perjalanan spiritual pertama inilah, Ibnu Battutah mendapati banyak perbedaan dari masing-masing jamaah haji. Latar belakang budaya para kafilah haji, menarik intuisinya untuk belajar langsung ke negeri mereka.

      Berbekal hadits Nabi yang diriwayatkan Tirmizi yang artinya, "Barangsiapa menempuh perjalanan untuk mencari suatu ilmu, niscaya Allah memudahkannya jalan menuju surga." 

      Maka, dari Tanah Suci Mekah, ia melanjutkan perjalanannya menuju kawasan benua Asia pada tahun 1330 Masehi di usianya 27 tahun dan tanpa berbekal keahlian penjelajahan Ibnu Battutah melanjutkan petualangannya dari Jeddah menuju India.

      Meski terlahir dari kota pesisir pantai, Battutah belum pernah melakukan perjalanan laut dan itulah pertama kalinya Ibnu Battutah berpetualang melalui lautan dua hari di laut. Kapal yang ditumpanginya terombang-ambing ombak hingga terdampar kembali ke Afrika. Namun, musibah ini justru mengantarkan dirinya lebih mengenal pesisir Afrika.

      Berkat silaturahmi yang selalu dilakukannya di tempat-tempat baru, Ibnu Battutah selalu mendapatkan pertolongan orang-orang yang dikenalnya hingga akhirnya ia dapat melanjutkan pengembaraannya mengenal Yaman, Somalia, pantai-pantai Afrika Timur, dan kembali ke Teluk Aden, ia pun terus menyisir wilayah Timur Tengah, Oman, Hormuz di Persia, dan Bahrain.

      Dari Persia, Ibnu Battutah berkesempatan singgah di Kota Baghdad, Irak. Sisa-sisa kejayaan peradaban Islam di bawah dinasti Abbasiyah benar-benar mengesankan Ibnu Battutah berbagai pengalaman dan pelajaran yang didapatnya ia rekam baik-baik dalam benaknya hingga pada tahun 1332 Masehi. Melalui Yaman, ia kembali ke Tanah Suci Mekkah, haji yang ke dua. 

      Setahun di Tanah Suci, dorongan petualangan Ibnu Battutah kembali mengusik nalurinya menaiki sebuah kapal Genoa. Ia berlayar menuju pantai Selatan Asia kecil, kemudian meneruskan perjalanan darat menjelajahi stepa-stepa di Rusia Selatan hingga Siberia, masih di tahun 1333 Masehi. 

      Setelah melalui perjalanan melewati wilayah Iran, Anatolia, dan Asia Tengah, Ibnu Battutah akhirnya singgah di tepi sungai Indus, tepi Barat India, negeri yang dikuasai oleh Sultan Muhammad Tugluq (baca Tuglak), penguasa Muslim di Delhi, membuat takluk Ibnu Battuta dan akhirnya di sini beliau menetap. 

      Berkat keahliannya dalam hukum fikih, ia diangkat menjadi seorang qodi/hakim agung di Kesultanan Delhi hingga lebih dari tujuh tahun lamanya. Nah, bagaimana sejauh ini petualangan Ibnu Battutah masih kurang jauh? 

      Baca juga: Belajar dari Runtuhnya Andalusia Bagian 1​

      Nantikan lanjutan serialnya di Perjalanan Panjang Ibnu Battutah Bagian 2, yang juga akan mengisahkan Ibnu Battutah pernah singgah di Samudra Pasai, Aceh, dan naik gajah Sumatera.

      Klik KHAZANAH Islamic Newsletter/Selo Ruwandanu

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan