• Photo :
        • Sejumlah Peserta Ijtima Ulama Asia di Kabupaten Gowa,
        Sejumlah Peserta Ijtima Ulama Asia di Kabupaten Gowa

      Sahijab – Bila seorang ulama diuji dengan para penguasa dan sulit baginya untuk melakukan pengingkaran, serta menyatakan kalimat yang hak di hadapan mereka, maka cara terakhir adalah menolaknya dengan hati, walaupun termasuk selemah-lemahnya iman. 

      Para ulama dibolehkan untuk mendekati penguasa yang zalim dalam rangka menasihati mereka dalam urusan agama dan amar ma’ruf nahi mungkar.

      Baca juga: Jangan Bangga Menjadi Pemimpin, Godaan Iblis Menghantui​

      Namun, jika para ulama diam, bahkan ikut membantu perbuatan dosa mereka, maka Rasulullah telah mengingatkan dalam sabdanya. “kelak sepeninggalku akan ada para pemimpin, barang siapa yang masuk menemui mereka, membenarkan kedustaan mereka, dan membantu mereka di atas kezaliman mereka, maka ia tidak termasuk bagian dari (umat)ku dan aku pun bukan bagian dari dirinya. Ia pun tidak akan sampai kepadaku di telaga kautsar. Sedangkan siapa saja yang tidak masuk menemui mereka, tidak membantu mereka di atas kezaliman mereka, dan tidak membenarkan kedustaan mereka, maka ia termasuk bagian dari (umat)ku dan aku pun bagian dari dirinya. Ia pun akan sampai kepadaku di telaga kautsar.” [HR  Tirmizi, Ibnu Hibban dan al Hakim]

      Menurut Ibnu Jauzi, di antara bentuk talbis iblis kepada para ulama adalah mereka bergaul rapat dengan pejabat dan penguasa, bermanis-manis muka atau menjilat mereka, dan tidak mau mengingkari kemaksiatan mereka meskipun mampu melakukannya. Inilah bencana terbesar. 

      Setiap insan tidak dibiarkan iblis tenang beribadah kepada Robbnya. tak terkecuali ulama. Bahkan, Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda sebagaimanya yang diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’d dari ayahnya, dia berkata, aku bertanya kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, “siapakah yang paling berat cobaannya?” Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “para nabi, kemudian orang-orang sholeh kemudian manusia yang semisal. Seseorang dicoba sesuai dengan kadar agamanya....” [HR tirmizi]

      Iblis akan menurunkan bala tentaranya untuk menggoda para ulama. Iblis membisiki para ulama bahwa ‘sesungguhnya yang mendorongnya untuk mendekatkan diri kepada penguasa adalah karena hendak membantu kepentingan umat dan jika mereka diberi berbagai hadiah berupa harta kekayaan, maka iblis pun berbisik. Harta para penguasa adalah hakmu juga.

      Kemudian, Iblis pun membisiki para ulama, “engkau adalah pembela syariat dan hanya mencari kemuliaan agama….” Penyakit riya akhirnya disusupkan di hati mereka. Perangkap ini berhasil menjeratnya, jika ada orang lain yang melebihi popularitas, hatinya mulai terbakar amarah. Mereka berbangga diri dengan banyaknya jamaah dan orang yang menuntut ilmu kepadanya. 

      Ulama sebagai pewaris para Nabi, bukanlah gelar yang disematkan tanpa syarat. Menurut Abu Bakar al Jaziri, selain penguasaan terhadap syariat agama, seorang ulama harus memiliki akhlak yang mulia,  yaitu aspek kemanusiaan yang utuh dan paripurna. Akal intelektualnya komprehensif, yang dihiasi jiwa mulia. Ia harus teladan bagi orang lain. Seorang ulama adalah pelayan bagi umat, yang berusaha memperbaiki tatanan sosial dan akhlak masyarakat.

      Seorang ulama tak lagi disebut pewaris Nabi, jika ia masih berkongsi dengan penguasa hanya untuk melegitimasi kekuasaannya, apalagi menjadi pelayannya. Namun, kiprah ulama tak berarti dijauhkan dari urusan politik dan pemerintahan. Ia harus terlibat aktif memberikan nasihat dan kritikannya demi kemaslahanan umat.

      Sumber: Klik KHAZANAH Islamic Newsletter/Kholis Bakri

      Baca juga: Kemuliaan Ulama di Antara Pemimpin Zalim​

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan