• Photo :
        • Pangeran Dipenogoro,
        Pangeran Dipenogoro

      Sahijab – Pada masa penjajahan dulu, Indonesia memiliki deretan pahlawan yang telah berjuang untuk merebut kemerdekaan dan mengusir penjajah dari tanah air. Salah satu pahlawan yang paling berjasa adalah profil Pangeran Dipenogoro.

      Salah satu bukti sejarah perjuangan Indonesia melawan ganasnya penjajah Hindia Belanda adalah Perang Dipenogoro yang telah berlangsung selama lima tahun mulai dari tahun 1825 sampai 1930. Cikal bakal dari meletusnya Perang Dipenogoro adalah kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia pada tahun 1908.

      Selain itu, Pangeran Dipenogoro telah diberikan gelar Pahlawan Nasional yang sesuai dengan SK Presiden RI No. 087/TK/1973 pada 6 November 1973 silam. Gelar tersebut diberikan kepada Pangeran Dipenogor untuk menghormati dan mengapresiasi perjuangannya dalam peristiwa Perang Jawa. Berikut profil dan kehidupan Pangeran Dipenogoro yang dikutip dari direktoratk2krs.kemsos.go.id.

      Lalu, bagaimana profil Pangeran Dipenogoro

      Latar belakang

      Pangeran Dipenogoro lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 dari ibunya yang bernama R.A Mangkarawati dan ayahnya yang bernama Gusti Raden Mas Surojo. Ketika Pangeran Dipenogoro lahir, ia diberi nama Raden Mas Mustahar yang kemudian diberikan gelar dengan nama Pangeran Dipenogoro tahun 1812 pada saat ayahnya naik tahta menjadi Hamengkubuwana III.

      Selain itu, semasa hidupnya, Pangeran Dipenogoro telah menikah dengan 9 orang wanita dan memiliki 12 putra serta 5 orang putri. Sampai saat ini, seluruh keturunan Pangeran Dipenogoro hidup tersebar di seluruh Indonesia hingga luar negeri seperti Arab Saudi, Belanda, Australia, Serbia, hingga Jerman.

      Perang Dipenogoro

      Seperti yang telah disebutkan di atas, Perang Dipenogor dipicu oleh kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels ke tanah Jawa, tepatnya di Batavia pada tahun 1808. Ia dikirim sebagai utusan Perancis yang akan mempersiapkan Jawa sebagai basis pertahanan Perancis melawan Inggris.

      Tapi, cara Daendels memerintah dianggap melanggar tata krama dan tidak berbudaya sehingga menimbulkan kemarahan dari keraton. Daendels bahkan meminta penduduk Jawa untuk membangun jalur transportasi dari Anyer sampai Panarukan. Daendels juga memungut pajak yang tinggi kepada para petani.

      Selain itu, rencana pembangunan jalan yang melewati makam leluhur kediaman nenek Pangeran Dipenogoro membuatnya murka dan memutuskan untuk berperang dengan Belanda. Pasak-pasak penanda yang telah dipasang oleh para pekerja diganti dengan tombak sebagai pernyataan perang.

      Perang tersebut dimulai sejak 20 Juli 1825. Untuk menghadapi Belanda, Pangeran Dipenogoro mengungsikan keluarganya dan bergerak secara gerilya. Terbukti, Belanda gagal menangkap Pangeran Dipenogoro di Tegalrejo walaupun kediamannya tersebut dibakar.

      Pangeran Dipenogoro kemudian bergerak ke arah Selatan dan membuat basis militer di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah Kota Bantul. Ketika itu, rakyat turut berjuang bersama melawan Belanda.

      Aksi heroik tersebut terus mendapatkan simpati dari kalangan bangsawan lainnya seperti Kyai Mojo, Kerta Pengalasan, dan Sentot Prawirodirdjo. Strategi gerilya yang digunakan olehnya berhasil mengecoh Belanda yang membuatnya sangat sulit untuk ditangkap.

      Akhir hayat Pangeran Dipenogoro

      Tahun 1827 Belanda kembali melancarkan serangan dengan sistem Benteng yang membuat pasukan Dipenogoro semakin terjepit. Satu per satu pemimpin perang mulai ditangkap Belanda, yaitu, Sentot Prawirodirjo, Kyai Mojo, dan Pangeran Mangkubumi.

      Kemudian, Jenderal De Kock yang diperintahkan Belanda berhasil untuk menekan Pangeran Dipenogoro beserta pasukannya di Magelang. Di sinilah Pangeran Dipenogoro ditangkap dan menyerahkan diri ke pasukan Belanda.

      Setelah ditangkap, Pangeran Dipenogoro beserta keluarganya kemudian dibawa menggunakan kapal Pollux ke Manado. Setelah di Mando, ia kemudian ditawan di Benteng Amsterdam dan selanjutnya dipindahkan ke Makassar.

      Penangkapan tersebut menjadi akhir dari perlawanan kaum bangsawan Jawa yang menewaskan banyak orang. Sampai Akhirnya, 8 Januari 1855 pada usia 69 tahun, Pangeran Dipenogoro meningeal dunia dan dimakamkan di Makassar.

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan