• Photo :
        • Masjid dan Gereja di Lebanon,
        Masjid dan Gereja di Lebanon

      Isi perjanjian seperti itu, sebetulnya sudah ada sejak Lebanon merdeka dari Prancis pada 1943, di mana posisi Perjanjian Thaif menguatkan kesepakatan sebelumnya dan disepakati sampai hari ini. 

      “Berdasarkan kesepakatan tersebut, Kristen Maronit itu jatahnya menjadi Presiden, Muslim Sunni itu menjadi perdana menteri/pemimpin kabinet, kemudian Syiah mendapatkan jabatan sebagai ketua parlemen. Kemudian, Sekte Druze mendapatkan jabatan kepala staf angkatan bersenjata Lebanon (LAF) dan terus dielaborasi sampai ke bawah,” ujarnya. 

      Dia menjelaskan, pembagian kekuasan itu bukan hanya di pucuk, misalnya anggota parlemen itu ada 122, melainkan dibagi Muslim separuh, Kristen separuh, separuh di Kristen dibagi lagi berdasarkan sekte-sekte, ada Maronit, Ortodoks, ada Protestan dan sebagainya. Sementara itu, yang Muslim yang separuh tadi dibagi lagi menjadi Sunni, Syiah, Druze, yang dihitung sebagai porsinya Muslim.  

      Dia menambahkan, kesepakatan seperti itu tetap dipegang teguh karena elite politik sadar akan pentingnya menjaga itu. Sebab, kesepakatan itu ada di level elite, maka mereka langsung mensosialisikannya kepada internal (sekte) masing-masing.

      Selain kesadaran elite, ujar Hajriyanto, masyarakat bawah juga sadar pentingnya perjanjian ini. Setiap kali muncul riak gejolak, mereka langsung teringat pahitnya perang saudara dan itu membuat perdamaian antarsekte di sana terjaga kembali.  

      “Kalau ditanyakan kepada golongan tua, yang mengalami konflik parah ’70-an sampai ‘80-an, itu ya satu-satunya solusi adalah menaati Perjanjian Thaif tersebut dan itulah yang menjamin kerukunan dan perdamaian, serta kerja sama. Sekali ada tanda-tanda kesepakatan dilanggar satu pihak, maka itu akan menimbulkan benih-benih perpecahan,” tegas Hajriyanto.

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan