• Photo :
        • Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa'adi (kanan),
        Wakil Menteri Agama RI, Zainut Tauhid Sa'adi (kanan)

      Lebih lanjut, dia mengataka, hiasan tersebut memiliki makna baik dari segi estetik (keindahan), sosial (kultural, identitas), maupun simbolis (ruhani, spiritualitas).

      "Lomba ini diharapkan dapat merangsang kreativitas para seniman muslim dalam melahirkan karya-karya seni mushaf yang indah dan berkarakter, sekaligus mencerminkan kekayaan budaya bangsa Indonesia," ujarnya.

      "Kegiatan ini bertujuan mencari karya-karya terbaik dalam seni hiasan mushaf di Indonesia, meningkatkan keterampilan para seniman mushaf, dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni mushaf," tuturnya. 

      Muchlis menambahkan, di Nusantara, penyalinan Alquran dilakukan secara manual, baik hiasan maupun tulisannya. Penyalinan tersebut berlangsung sejak kedatangan Islam di kawasan ini hingga akhir abad ke-19 ketika teknologi percetakan semakin maju. 

      Penyalinan mushaf terjadi di berbagai kesultanan dan wilayah penting masyarakat Islam dahulu, di antaranya Aceh, Riau, Sumatera Barat, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Jawa Tengah, Madura, Lombok, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Maluku. Warisan penting tersebut kini tersimpan di berbagai museum, perpustakaan, pesantren, ahli waris, dan kolektor naskah—diperkirakan berjumlah 1.500 naskah.

      Mushaf Alquran, kata Muchlis, dihias sesuai dengan ruang dan waktu penyalinan. Lokalitas budaya tempat mushaf disalin merupakan faktor yang memengaruhi variasi bentuk, motif, dan warna iluminasi (hiasan). 

      Unsur kreativitas lokal, sebagai hasil serapan budaya setempat, terlihat dalam pola dan motif ragam hias yang sangat beragam—masing-masing daerah memiliki ciri khas sendiri.

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan