• Photo :
        • Hari ibu,
        Hari ibu

      Sahijab – Setiap tanggal 22 Desember, maka negara ini mencatatnya sebagai Hari Ibu. Penetapan ini dilakukan atas dasar peristiwa Kongres Nasional Perempuan Indonesia yang menjadi tonggak sejarah gerakan perempuan di Indonesia. 

      Setiap tanggal 22 Desember, banyak hal yang kita lakukan untuk menyambut Hari Ibu. Salah satunya adalah dengan membebaskan ibu dari tugas rumah tangga, memberikan hadiah atau mengajak ibu makan-makan istimewa. 

      Tapi karena sifatnya adalah peringatan, ternyata tak semua umat Islam setuju dengan perayaan Hari Ibu. Dikutip dari NU Online, berikut perbedaan pendapat di antara ulama tentang perayaan atau peringatan Hari Ibu.

      Pendapat yang Setuju

      Para ulama berbeda pendapat tentang hukum merayakan Hari Ibu. Pertama, sebagian ulama meliputi Syekh Syauqi Allam (mufti Mesir), Syekh Ali Jum’ah (mantan mufti Mesir), Syekh Abdul Fattah Asyur, Syekh Muhammad Ismail Bakar, dan Lembaga Fatwa Mesir (Darul Ifta’ Al-Mishriyyah) mengatakan bahwa peringatan hari ibu diperbolehkan. 

      Mereka beralasan bahwa peringatan hari ibu merupakan salah satu bentuk berbuat baik kepada orang tua. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan kita untuk berbuat baik kepada orang tua.

      وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا 

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS Al-Isra’: 23).

      وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ  

      “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS Luqman: 14). 

      Di samping itu, peringatan hari ibu dengan memberinya hadiah, membebastugaskannya dari tugas domestik seperti mencuci pakaian dan memasak, atau sekadar mengucapkan terima kasih atas pengabdiannya, masuk dalam kategori adat atau tradisi, bukan ibadah. Karenanya, hal itu tidak termasuk bid’ah, sebab bid’ah itu hanya dalam urusan ibadah (agama) semata. 

      Imam Syathibi berkata: فَالْبِدْعَةُ إِذَنْ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ، يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِي التَّعَبُّدِ للهِ سُبْحَانَهُ

      “Bid’ah merupakan ungkapan tentang cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan untuk lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala” (Ibrahim bin Musa Asy-Syathibi, Al-I’tisham, juz I, h. 26). 

      Pendapat yang Tak Setuju

      Sebagian ulama yang lain, seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi (Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Fatwa) menyatakan bahwa peringatan hari ibu diharamkan. Mereka berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

       مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. 

      “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR Bukhari dan Muslim). 

      Mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Aisyah radhiyallahu anha yang lain, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: 

      مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ 

      “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim).  

      Peringatan hari ibu tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam, para sahabat radhiyallahu anhum, dan kaum muslimin terdahulu (salaful ummat), maka termasuk bid’ah yang dilarang dalam agama Islam berdasarkan kedua hadist di atas. Selain itu, mereka juga berpedoman pada hadits riwayat Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

       مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ 

      “Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka” (HR Abu Dawud). 

      Peringatan hari ibu merupakan tradisi orang kafir. Memperingati hari ibu berarti menyerupai orang kafir, dan termasuk bagian dari mereka. Karenanya, memperingati hari ibu diharamkan dalam Islam. 

      Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hukum peringatan hari ibu. Sebagian ulama, seperti Syekh Syauqi Allam, Syekh Ali Jum’ah, Syekh Abdul Fattah Asyur, Syekh Muhammad Ismail Bakar, dan Lembaga Fatwa Mesir membolehkan peringatan hari ibu, karena merupakan bentuk dari berbuat baik dan bersyukur kepada orang tua, khususnya ibu. Sedangkan, sebagian ulama yang lain seperti Syekh Abdul Aziz bin Baz, Syekh Shalih al-Fauzan, Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, dan Lembaga Fatwa Arab Saudi mengharamkannya, sebab tidak pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad, para sahabat, serta umat Islam terdahulu, dan menyerupai tradisi orang kafir.  

      Dari kedua pendapat di atas, tampaknya pendapat yang memperbolehkan peringatan hari ibu merupakan pendapat yang kuat, sebab peringatan tersebut merupakan salah satu bentuk dari berbakti dan bersyukur atas jasa-jasa seorang ibu. Meskipun demikian, dalam Islam, berbakti dan bersyukur atas jasa ibu tidak terbatas pada saat peringatan hari ibu saja, melainkan setiap saat dan sepanjang hayat, bahkan ketika ibu sudah meninggal dunia. 

      Abu Usyaid Malik bin Rabi’ah radhiyallahu anhu meriwayatkan sebuah hadits: 

       بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، إِذَا جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلِمَةَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا، قَالَ: «نَعَمِ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا، وَالاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا، وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا، وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا، وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا 

      “Suatu ketika kami berada di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Iya. Yaitu mendo’akan keduanya, meminta ampunan untuk keduanya, memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan silaturahim dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya” (HR Abu Daud).

      Begitulah perbedaan pandangan dari ulama-ulama besar soal peringatan Hari Ibu. Hal tersebut kembali kepada kita, apa tujuan kita merayakan Hari Ibu. Dan mari menyikapi perbedaan pandangan ini dengan dewasa.


       

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan