Menurut antropolog Marvin Harris dalam bukunya "Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir" (2019), alasan pelarangan babi lebih berkaitan dengan faktor ekologi daripada semata-mata agama. Harris menjelaskan bahwa babi sangat boros air; seekor babi membutuhkan sekitar 6.000 liter air untuk tumbuh. Dalam peternakan dengan 100 ekor babi, diperlukan 600.000 liter air. Di wilayah gurun seperti Timur Tengah, ini tentu tidak efisien.
Selain itu, babi bukan pemakan rumput seperti sapi atau kambing. Mereka membutuhkan makanan layak manusia, seperti kacang-kacangan dan biji-bijian. Dalam kondisi keterbatasan sumber daya, manusia cenderung memilih untuk mengutamakan konsumsi sendiri daripada memberi makan hewan yang tidak ekonomis.
"Babi mungkin enak, tapi peliharaannya terlalu menyita sumber daya," tulis Harris.
Sejarawan Richard W. Redding dalam risetnya "The Pig and the Chicken in the Middle East" (2015) menawarkan pandangan berbeda. Menurutnya, munculnya ayam sebagai alternatif sumber protein menjadi faktor krusial di balik penurunan konsumsi babi. Ayam lebih mudah dipelihara, lebih hemat air (hanya 3.500 liter per 1 kg daging), dan cocok untuk gaya hidup nomaden.
Ayam juga tidak meninggalkan banyak sisa, mudah dikonsumsi sekali habis, dan menghasilkan telur sebagai produk tambahan. Bagi masyarakat Arab yang sering berpindah tempat dan hidup di lingkungan tandus, ayam menjadi solusi ideal. Dalam jangka panjang, kehadiran ayam secara perlahan menggantikan posisi babi di meja makan.
"Dalam kondisi seperti itu, ayam menjadi sumber protein utama, dan babi tak lagi dibutuhkan," tulis Redding.