Mengurai 10 tahun konflik royalti musik: Langkah penting menuju transparansi industri. Penyederhanaan informasi dan adaptasi kultur diperlukan.
Sejak pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) pada tahun 2015, industri musik Indonesia telah berusaha keras untuk menata pengelolaan royalti musik. Namun, setelah satu dekade, masalah konflik royalti musik masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Perseteruan antar musisi, bahkan hingga ke pengadilan, menjadi ironi yang menyayat hati, mengingat tujuan awal LMKN adalah untuk mengakhiri keruwetan ini.
Setelah 10 tahun beroperasi, masih banyak musisi yang belum sepenuhnya memahami hak-hak mereka, alur pengelolaan royalti, hingga tata cara klaim yang benar. Aturan yang sudah ada sejak 2014 seolah belum sepenuhnya meresap ke lapisan paling bawah. Upaya sosialisasi dari pihak LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) anggotanya belum efektif mencapai target audiens yang luas dan beragam.
Industri musik Indonesia telah eksis jauh sebelum UU Hak Cipta 2014 lahir. Pola-pola lama yang sudah mengakar kuat sulit ditinggalkan. Kebijakan baru yang mengacu pada kesepakatan global, seperti sistem royalti yang terintegrasi, nampaknya sulit diterima sepenuhnya oleh beberapa pemangku kepentingan. Resistensi terhadap perubahan ini justru menghambat kemajuan bersama dan menciptakan gesekan yang terus-menerus.
Perseteruan yang terus-menerus ini sangat tidak sehat bagi industri musik Indonesia. Selain menguras energi dan sumber daya para pelaku industri, konflik ini juga merusak kepercayaan, menghambat kreativitas, dan melemahkan ekosistem industri. Ketika para musisi sibuk berseteru di pengadilan, bagaimana mungkin kita bisa bersaing dengan industri musik asing yang telah memiliki sistem royalti yang jauh lebih solid dan transparan?
Ironisnya, kondisi ini justru membuat industri musik Indonesia semakin rentan untuk "dijajah" habis oleh konten dan industri musik asing. Royalti musik adalah pilar strategis bagi keberlangsungan industri di seluruh dunia, yang telah diakui hingga membentuk World Intellectual Property Organization (WIPO). Jika pilar ini rapuh di rumah sendiri, bagaimana kita bisa berdiri kokoh?
Perlu ada penyederhanaan informasi yang lebih efektif. Terjemahkan aturan hukum ke bahasa yang sangat mudah dicerna, lengkap dengan contoh kasus nyata dan visual yang menarik, seperti infografis dan video tutorial.
Turun langsung ke komunitas musisi di berbagai daerah, tidak hanya di kota besar, untuk diskusi tatap muka dan pelatihan praktis. Hal ini akan memastikan bahwa informasi mencapai lapisan paling bawah dan dapat dipahami dengan baik.
Manfaatkan platform digital untuk menyebarkan informasi secara luas. Media sosial, website, dan aplikasi mobile dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan pemahaman tentang royalti musik.
Sudah saatnya LMKN, yang kini digawangi oleh Komisioner periode 2022-2025, bersama seluruh LMK anggota dan seluruh pemangku kepentingan, duduk bersama untuk merefleksikan kembali visi awal dan mengambil langkah konkret yang lebih mendesak. Dengan strategi sosialisasi yang holistik dan adaptasi kultur yang kuat, industri musik Indonesia dapat bergerak maju menuju transparansi dan keadilan dalam pengelolaan royalti musik.