Sahijab – Setiap hari Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, maka umat Islam akan sibuk berdebat soal apakah perayaan Maulid Nabi bid'ah atau bukan.
Perdebatan ini bahkan bisa sangat sengit dan berujung kemarahan atau rasa kesal satu sama lain. Padahal menyambung silaturahmi jauh lebih penting dibanding mendahulukan perdebatan.
Menurut Majelis Ulama Indonesia, hukum merayakan Maulid Nabi adalah bid'ah. Namun bid'ah ini adalah bid'ah hasanah (sesuatu yang baik), dan bukan bid'ah dholalah (mengadakan sesuatu yang buruk). Bahkan, menurut MUI ada dalil-dalil yang membolehkannya.
Dikutip dari laman MUI.or.id, bid’ah Hhasanah adalah sesuatu yang tidak dilakukan oleh Nabi maupun para sahabatnya namun perbuatan itu memiliki nilai kebaikan dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sedangkan bid’ah dhalalah adalah perbuatan baru dalam agama yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Baca juga: Doa Istri untuk Suami
Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setiap hari senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ .” رواه مسلم
“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku”. (H.R. Muslim)