• Photo :
        • Source : Republika,
        Source : Republika

      REPUBLIKA.CO.ID, — Jepang memang tidak lama menjajah Indonesia, tetapi keberadaan jepang di Tanah Air pada 1942-1945, mendapat beberapa perlawanan yang dilakukan sejumlah ulama Indonesia. 

      Dalam tesisnya, The Role of the Ulama During the Japanese Occupation of Indonesia (1942-45), Nourouzzaman Shiddiqi, salah satunya datang dari Tengku Abdul Djalil asal Aceh. Lelaki yang saat itu berusia 30 tahun tersebut merupakan kepala madrasah (dayah) di Cot Pling. 

      Sejak awal kedatangan Jepang di Bumi Serambi Makkah, dirinya tidak pernah percaya bahwa militer Negeri Matahari Terbit akan menghormati agama Islam dan kedaulatan Aceh. 

      Baca Juga: Wafatnya Ulama Termasuk Tanda Kiamat, Benarkah?

      Shiddiqi mengatakan, bagi Tgk Abdul Djalil, tidak ada beda antara penguasa kolonial Belanda dan Jepang. Keduanya sama-sama kafee (kafir) yang memusuhi kaum Muslimin. Bahkan, yang belakangan itu cenderung lebih barbar. 

      Mereka sangat tidak mengindahkan sama sekali martabat orang Aceh. Para tentara Nippon pun suka bertindak kasar. Banyak masyarakat lokal yang merasakan arogansi militer asing tersebut Tgk Abdul Djalil merupakan salah seorang ulama Aceh yang tidak termasuk anggota Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). 

      Organisasi ini sudah terbentuk sejak zaman kolonial Belanda. Begitu mendengar kabar pecahnya Perang Dunia II, para pemimpin PUSA sepakat untuk berkompromi dengan Nippon agar Belanda hengkang dari Aceh.

      Berita Terkait :

      Disclaimer: Semua artikel di kanal Sindikasi ini berasal dari mitra-mitra Viva Networks. Isi berita dan foto pada artikel tersebut di luar tanggung jawab Viva Networks.

  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan