Kalau perkembangan itu terus memburuk dan fasilitas di rumah sakit tidak cukup maka dokter harus membuat prioritas.
Kenyataannya, tulis surat itu, ada pasien yang sudah sangat gawat. Sudah sangat kecil kemungkinan untuk sembuh. Pun seandainya terus dirawat di ICU. Dan sudah diberi ventilator.
Maksudnya: pasien seperti itu harus direlakan untuk mati. ICU bisa untuk pasien lain yang lebih memiliki harapan hidup. Demikian juga ventilator. Bisa dicabut dari pasien gawat. Untuk dipasang di pasien baru.
Dalam kondisi yang gawat nanti akan ada evaluasi. Akan ada batas waktu penggunaan ICU. Kalau sudah melewati batas waktu itu dan si pasien belum menunjukkan kemajuan maka tidak ada artinya lagi terus dipertahankan. Diteruskan pun tidak memberi harapan. ICU diperlukan untuk pasien lain.
Keputusan itu, kata surat tersebut, didasarkan kondisi saat itu. Tidak ada hubungannya dengan ras, gender, agama, asuransi atau pun status keimigrasian.
Heboh.
Keputusan untuk mati ternyata tidak lagi di tangan Tuhan. Etika dokter pun dipersoalkan.