Unik sekali, dan bagaimana rombongan Battutah dijamu dengan istimewa di Samudra Pasai, sambil menyebutkan beberapa tanaman khas Sumatera, pohon kemenyan, cengkih, sampai kampar. Subhanallah, inilah surga dunia, kekayaan alam terbaik di dunia.
Ibnu Battutah singgah selama beberapa minggu dan disempatkan merayakan pernikahan putra Sultan Malik At-Tohir dan mencatat tiap detail adat pernikahan di Kesultanan Samudera Pasai.
Seusai misinya, Ibnu Battutah memutuskan kembali ke Mekah, melewati India untuk menunaikan ibadah hajinya di tahun 1348 Masehi. Dari Mekah, ia memutuskan untuk kembali ke negerinya, Maroko. Tiba di kampung halaman di Tanjir, ia mendapati orang tuanya telah lama tiada.
Sungguh petualangan dan kisah Islami yang sangat fenomenal dan istimewa, setiap perjalanannya selalu diawali dari Tanah Suci Mekah, dan berakhir kembali di Mekah. Kota Suci Mekah seakan menjadi poros dari segala petualangannya.
Sejak kepulangannya ke Tanjir, di usianya 45 tahun, ia sempat berkelana kembali ke Andalusia dan kawasan Afrika. Dalam sebuah kawasan yang belum pernah tersentuh penjelajah manapun di dunia, akhirnya Ibnu Battutah kembali ke negerinya di tahun 1355 dan mendiktekan semua pengalaman petualangannya pada sahabatnya yang bernama Ibnu Juzza’iy. Pengalaman itu terkumpul dalam kitab berjudul ‘Rihlah Ibnu Battutah’.
Baca juga: Empat Hikmah dari Kisah Nabi Daud
Pada tahun 1368 Masehi, Ibnu Battutah meninggal dunia, meninggalkan pengalaman perjalanan panjang sejauh 120 ribu kilometer dan singgah di 44 negara dalam 30 tahun.