Berbeda dengan orang yang tingkatannya haqqu al-yaqin, yang masih belum bisa melaksanakan sesuatu yang diyakininya itu. Kondisi seperti ini yang ditemukan di kebanyakan orang. Sedangkan yang masuk kriteria ‘ilmu al-yaqin lebih banyak lagi, karena keawaman dan ketaqlidannya. Bahkan, ada orang di luar penganut agama tertentu, bisa mengetahui agama lainnya, dan pengetahuannya itu menjadi wilayah kehidupannya sebagai ilmuwan dalam bidang muqarranah al-adyan (perbandingan agama).
Posisi orang yang terakhir ini, tidak berbeda dengan ahli ilmu yang lainnya. Yang jelas, konsep al-yaqîn itu lebih banyak memanfaatkan potensi setiap orang yang disebut Inner Capacity atau Inner Dynamic-nya, sekalipun masih jauh dari sudut pemanfaatan ke-fithriyah-an diri sebagai manusia makhluk terunggul dan termulya di alam ini, disebabkan akhlaknya masih buruk, kepribadiannya sangat jauh dari standar yang Nabi SAW teladankan.
Baca juga: Hukum Orang Murtad dalam Islam