Sahijab – Wabah virus Corona atau COVID-19 terus merambah ke berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia. Bahkan, warga Indonesia yang terkena virus mematikan ini sudah menjadi tiga ribu lebih dan ratusan orang yang meninggal.
Untuk mencegah penularan virus yang berasal dari China tersebut, pemerintah menyarankan agar di rumah saja, menjaga jarak, dan rajin-rajin mencuci tangan pakai air sabun. Sementara itu, bila tidak ada air, sebagai alternatifnya membersihkan tangan dengan menggunakan cairan pembersih atau hand sanitizer.
Baca juga: Hand Sanitizer Vs Cuci Tangan, Mana Unggul Cegah Corona
Hand sanitizer saat ini, termasuk salah satu barang yang paling banyak dicari orang, di tengah merebaknya wabah virus Corona atau COVID-19.
Bahkan, harganya pun, seperti dikutip Sahijab dari PWNU Jatim, bisa terbilang sudah melebihi batas harga di pasaran sebelumnya.
Cairan ini, merupakan cairan pembersih tangan yang digunakan sebagai alternatif untuk mencuci tangan, selain menggunakan sabun dan air.
Hand sanitizer berbasis alkohol dengan minimal 60 persen dipercaya lebih efektif untuk membunuh kuman dan mikroorganisme berbahaya di tangan, termasuk pencegahan virus Corona.
Empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa khamer adalah najis. Namun, tidak setiap alkohol hukumnya najis. Alkohol yang najis hanyalah alkohol yang berasal dari khamer, adapun yang tidak, maka tidak najis.
Khamer adalah setiap minuman yang memabukkan, baik dari anggur ataupun yang lainnya, baik dimasak ataupun tidak. Adapun alkohol, adalah istilah yang umum untuk senyawa organik apa pun yang memiliki gugus fungsional yang disebut gugus Hidroksil (-OH) yang terikat pada atom karbon.
Rumus umum senyawa alkohol tersebut adalah R-HO atau Ar-OH, di mana R adalah gugus Alkil dan Ar adalah gugus Aril. Khamer hukumnya haram dan najis. Demikian pula minuman beralkohol, karena kandungan alkoholnya berasal dari khamer.
Maka, meski hand sanitizer mengandung alkohol (minimal 60 persen), tetapi statusnya tidak najis dan boleh digunakan. Karena, alkohol yang ada di dalamnya berasal dari hasil industri non Khamer (baik merupakan hasil sintesis kimiawi dari petrokimia ataupun hasil industri fermentasi non Khamer).
Hal ini, juga berlaku pada proses produksi produk pangan, makanan, minuman, kosmestika, dan obat-obatan. Tetapi, pembolehan ini dengan catatan, apabila secara medis tidak membahayakan.
(Diringkas dengan sedikit tambahan dan penyesuaian dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO : 11 tahun 2009 tentang Hukum Alkohol).
Baca juga: Dampak PSBB, Penumpang MRT, Trans Jakarta, dan Commuter Line Dibatasi