Bagi umat Muslim Indonesia, serangan (terhadap Syekh Ali Jaber) ini memang banyak yang menyatakan terkejut. Mereka menyatakan tak masuk akal karena dilakukan di tengah orang banyak dan pada sebuah forum acara pengajian resma. Entah mengapa, tiba-tiba ada yang berani menyerang ulama dengan benda tajam.
Namun, sebagian umat yang lain menyatakan tak perlu terlalu heran karena presedennya pada beberapa waktu juga sudah terjadi dan memakan korban. Namun, kali ini terasa lain karena serangan dilakukan di tengah pengajian, biasanya ulama diserang di luar itu, misalnya ketika berjalan hendak menuju masjid pada waktu Subuh hari.
Nah, ketika soal peristiwa ini diminta komentarnya pada politisi Islam senior yang mantan staf M Natsir dan staf Ahli Wapres Hamzah Haz, Lukman Hakiem, mengatakan tak terlalu heran. Apalagi, sentimen anti-Arab sudah ada di Indonesia sejak dahulu. "Ingat sentimen anti-Arab sudah ada dari dahulu,” katanya yang juga mantan anggota DPR RI.
Dan itu benar. Bagi mereka yang paham sejarah, sentimen anti-Arab yang dari dahulu kala sudah muncul. Ini, misalnya, terlacak pada jejak serat Gatotkoco pada menjelang awal tahun 1900-an, atau dalam bentuk modern melalui cerpen "Langit Makin Mendung" karya Ki Panji Kusmin di akhir tahun 1960-an.
Uniknya, sentimen anti-Arab di Indonesia dan dunia internasional, saat ini makin marak usai persitiwa 9/11 ketika menara kembar New York di robohkan oleh serangan teroris. Saat itu telunjuk diarahkan kapada Islam dan Arab. Bahkan, kemudian Presiden AS memerintahkan pasukannya menyerbu Afghanistan untuk memberantas apa yang mereka labeli sebagai "Islam Teroris". Bahkan, Goerge Bush menyerukan perlawanan itu dengan diksi kalimat ‘Perang Salib’.
Maka, sentimen anti-Arab semakin menjadi-jadi. Dunia tiba-tiba ketakutan dengan teriakan takbir dan isitilah jihad yang berasal dari bahasa Arab. Islam dan Arab menjadi semakin tertuduh. Bahkan, soal sikap sentimen Arab, khususnya di Indonesia sempat juga disindir seorang Grand Syekh Universitas Al Azhar ketika berkunjung ke Jakarta menyebut ’sebagai suatu sikap yang sudah berlebihan’. Katanya: "Ingat Nabi Muhammad itu orang Arab, jadi jangan berlebihan. Mencintai Nabi Muhammad juga berarti mencintai orang Arab bukan?”
Dan, terkait sentimen anti-Arab di Indonesia, Lukman Hamien pun sampat menuliskannya dengan menyusuri Arsip pada tahun 1930-an. Tulisan dia selengkapnya begini:
———————
Di majalah Berita Nahdlatoel Oelama 28 Syawal 1356/1 Januari 1938, halaman 2-4, terdapat tulisan berjudul “Aliran Anti Arab”. Ini menandakan pada paruh ketiga abad XX itu, isu anti-Arab rupanya sudah merebak di Tanah Air kita.
Bagaimana kalangan Nahdhiyyin pada saat itu menyikapi isu anti-Arab, mari kita ikuti tulisan yang dimuat di majalah yang dipimpin oleh Ch.M. Machfoedz Shiddiq dengan Mede Redacteur K.H. Hasjim Asj’ari Tebuireng, K.H. Abdulwahab Chasboellah Surabaya, dan K.H. Bisri Denanyar.
Begini isi tulisan itu yang saya disalin sesuai dengan aslinya, dengan penyesuaian ejaan.
Berita Nahdoetoel Oelama 1938:
Sekali peristiwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Sayyidina Salman: “Salman! Janganlah kamu membenci aku, maka kamu mencerai Igamamu.” Sembah Sayidina Salman: “Betapakah hamba membenci Paduka, padahal Allah ta’ala memberi hidayah hamba dengan perantaraan Paduka?” Maka, sabda beliau: “Yaitu kamu membenci bangsa Arab, maka (akhirnya) kamu membenci aku.” Hadits hasan gharib.
Jikalau kami menulis tentang aliran anti-Arab, barangkali pembaca kita menyangka bahwa kami akan menulis pergolakan di Palestina, dalam mana aliran anti-Arab dalam kalangan bangsa Yahudi makin menjadi-jadi.
Disclaimer: Semua artikel di kanal Sindikasi ini berasal dari mitra-mitra Viva Networks. Isi berita dan foto pada artikel tersebut di luar tanggung jawab Viva Networks.