REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Di era modern, menara tak lagi dijadikan tempat untuk azan, namun lebih sebagai tempat untuk meletakkan alat pengeras suara. Dengan alat pengeras suara ini, maka panggilan shalat bisa terdengar hingga ke rumah-rumah penduduk. Karenanya, tak mengherankan jika keberadaan menara di sejumlah negara-negara Eropa yang mayoritas penduduknya adalah non-Muslim dinilai mengganggu.
Tak hanya di Eropa, bahkan di Indonesia pun ada sekelompok orang yang menolak keberadaan menara masjid. Ada pula sejumlah buku yang mengajak umat Islam senantiasa berdakwah dengan damai kendati tanpa TOA (speaker yang biasa digunakan untuk mengeraskan suara agar lebih mudah didengar orang banyak).
Respons negatif terhadap keberadaan bangunan menara masjid ditunjukkan oleh masyarakat non-Muslim di Swiss. Mereka menuntut diberlakukannya larangan pembangunan menara masjid melalui sebuah referendum (jajak pendapat).
Referendum tersebut diusulkan Partai Rakyat Swiss (SVP) yang menganggap menara masjid adalah simbol syariah dan tidak sesuai dengan sistem hukum Swiss. Memang, meski tak lagi menjadi tempat untuk mengumandangkan azan, hampir setiap bangunan masjid besar di seluruh dunia dilengkapi menara. Menara telah menjadi simbol dan lambang keberadaan Islam.
Disclaimer: Semua artikel di kanal Sindikasi ini berasal dari mitra-mitra Viva Networks. Isi berita dan foto pada artikel tersebut di luar tanggung jawab Viva Networks.