Sahijab – Hampir seperempat abad setelah Andalusia jatuh ke kerajaan Kristen Eropa, dengan segala perubahan hukum yang berlaku di negeri itu, termasuk dilarangnya sholat, menyimpan dan membaca Alquran, dilarangnya penggunaan bahasa Arab, terkisah perjuangan satu anak dari keluarga shalih, yang kelakp menjadi ulama besar, Muhammad Bin Abdur Rofi’ Al Andalusia.
Segala bentuk foto maupun literatur nasional sangat jarang ditemukan dan sangat terbatas jumlahnya, namun ternyata kisah kehidupannya paska masa kelam Granada dapat diketahui dari kitab yang ditulisnya sendiri berjudul Al Anwar Annabawiyyah Fi Aba Khoiril Bariyyah.
Dalam kitab tersebut, Muhammad Bin Abdur Rofi’ Al Andalusi Rohimahulloh Ta’ala mengawali kisahnya dengan menggambarkan segala kecurigaan pada orangtuanya. Sebagai anak, dia sama sekali tidak menyadari jati dirinya. Karena, masa kecilnya justru dihabiskan di gereja.
Baca juga: Belajar dari Runtuhnya Andalusia Bagian 1
Muhammad memulai kisahnya...
“Saat itu usia ku masih kecil, aku belum terlalu paham dengan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tetapi, aku melihat bahwa ada banyak hal yang mencurigakan. Ayah ibu melepas ku bersekolah dengan air mata yang berurai, mereka selalu menangis. Jadi setiap hari, aku dibekali air mata ayah dan ibu. Begitu pulang, aku dipeluk mereka, seperti anak yang sudah hilang 10 tahun lamanya. Kemudian, nanti ketika aku dengan senang hati menceritakan pelajaran di sekolah. Menceritakan kisah dalam Al Kitab Injil di Kelas. Tidak ada wajah berseri dari kedua orang tuaku, tidak ada ekspresi bahagia sama sekali.”
Ketika suatu hari, ibunya melahirkan adik Muhammad. Namun, kelahiran adiknya itu tidak membawa kebahagiaan bagi keluarga dan terlebih ayahnya. Wajah mereka sedih. Muhammad semakin bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Sampai sang bayi itu dibawa pendeta ke gereja, kemudian dibaptis. Sang ayah berjalan di belakangnya, dengan wajah menunduk lesu, terlihat wajah sedih yang tidak bisa disembunyikan ayahnya. Sampailah kemudian, semua yang menjadi tanda tanya Muhammad itu kemudian terjawab.
Malam itu adalah malam Paskah, Granada sebagai sebuah kota yang hampir 50 tahun di bawah kekuasaan Kristen, merayakan pesta. Lampu di mana-mana terang benderang. Salip dipajang di mana-mana, lonceng didentangkan dengan suara yang memenuhi Kota Granada.
Muhammad kecil yang sudah berusia 10 tahun, dipanggil sang ayah masuk ke sebuah ruangan rahasia di rumah mereka. Ruangan yang setiap kali sang ayah masuk, selalu keluar dengan mata memerah, seperti habis menangis.
Malam Paskah itu, ketika semua berpesta, kedua ayah dan anak berada di dalam ruangan itu. Dalam kesunyian, dibukalah ruangan misterius itu, kemudian Muhammad diajak masuk. Muhammad menduga akan ada pemandang yang menakjubkan, tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Begitu lilin dinyalakan, yang terlihat hanya hamparan karpet, kemudian meja kosong dengan satu buku di sana. Kemudian, ada pedang yang digantungkan di dinding, tidak ada yang lain. Muhammad semakin heran, ruangan apa ini?
Maka, Muhammad diminta ayahnya duduk di karpet itu. Begitu duduk, kemudian sang ayah mulai bicara. Ayahnya berkata: “Muhammad, aku lihat kau sudah mulai tumbuh besar nak. Ayah ingin menyampaikan tentang sesuatu yang selama ini ayah tutupi, tetapi kamu harus berjanji dulu bahwa kamu tidak boleh menceritakan kepada siapapun. Bahkan, kepada orang terdekat mu, walau itu adalah ibumu sendiri. Karena nak, apa yang mau ayah sampaikan, begitu nanti didengar kerajaan, maka nyawa ayahmu, nyawa ibumu ada di bibir mu. Artinya, kalau kau bicara, maka Ayahmu bisa mati."
Kemudian, Muhammad mengatakan: “Baiklah, aku berjanji yah.” Ayahnya Melanjutkan, “baik dekatlah ke sini, ayah mau berbisik denganmu, karena ayah tidak mau bersuara keras, ayah hanya khawatir dinding ini punya telinga mendengarkan. Muhmamad, kamu tahu nak buku yang tergeletak di atas rak itu apa?”
Kata Muhammad, “Saya Tidak Tahu”. Ayahnya mengatakan, “itu adalah Kitab Suci.” Muhammad berkata, “apakah itu Kitab Suci yang Tuhan turunkan kepada Yesus? Kata Ayahnya, “Bukan!, itu Alquran, kitabnya Muslimin”.
Muhammad tidak paham apa yang dimaksud. Muhammad tidak pernah melihat Kitab Suci Alquran, tidak pernah tahu Islam itu apa, tidak pernah melihat orang sholat, tidak pernah tahu masjid itu apa, juga tidak pernah mendengar adzan.
Akhirnya, Muhammad dituturkan oleh ayahnya, “Kitab Suci ini diturunkan jauh di Negeri Padang Pasir. Diturunkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassallam. Kemudian, didakwahkan, disampaikan, berkembang besar. Kemudian, sampailah cahaya itu sampai ke negeri kita. Di negeri ini, Muslimin membangun peradaban besar 800 tahun. Kitalah yang membangun istana-istana itu. Kitalah yang membentangkan jembatan-jembatan yang luar biasa itu. Kita yang menggali saluran-saluran paritnya. Kita yang mengalirkan air-air di negeri ini. Kita yang membangun semua ini, 800 tahun di negeri ini.”
“Kau boleh tanyakan kepada tanah di Andalus ini, di setiap jengkal di bawah tanah ini, ada orang-orang syahid dari Muslimin. Kakek nenek moyang kita yang syahid, terkubur syahid. Menara di seantero negeri yang dipakai lonceng itu dulu adalah tempat berkumandangnya adzan, panggilan sholatnya Muslimin. Gereja-gereja itu dulu adalah masjid. Di depannya adalah mihrob tempat seorang imam membacakan Alquran, ayat-ayat Allah Subhanahuwata’ala, yang hari ini menjadi tempat berdirinya pendeta.”
“Sampailah 40 tahun yang lalu, ketika raja terakhir Muslimin, Abdullah As Shogir tertipu perjanjian ekonomi mereka. Akhirnya, mereka mengambil semua yang ada di negeri ini, termasuk Istana Granada, dan semua umat Muslim yang Syahid, dan hilang lah semua yang ada.”
Muhammad kecil ini terhenyak, sederet cerita sang ayah di malam Paskah itu menghadirkan hidayah Allah dalam hatinya. Dengan hati yang terbuka dan penuh cinta akan hidayah, Muhammad Bin Abdur Rofi’ pun bersedia menerima segala pelajaran Islam dari sang ayah. Dimulai dari bahasa Arab, membaca mushaf Alqur’an, gerakan-gerakan sholat, dan hukum-hukum syari’at lainnya.
Seluruh ilmu ini dipelajarinya hingga beberapa tahun lamanya. Hingga kemudian, sang ayah merasa bahwa berita Keislaman keluarganya terdengar oleh telinga pasukan-pasukan Reconquista Kerajaan Castile. Maka, sebelum pasukan kafir tersebut melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, Muhammad Bin Abdur Rofi’ Al Andalusi dipaksa sang ayah untuk berhijrah ke Maroko, dan membiarkan dirinya mendapatkan kesyahidan.
Di tangan Mahkamah Hukum Castile, seluruh keluarga, ayah dan ibunya dibunuh pasukan kerajaan. Sementara itu, sang anak, Muhammad Bin Abdur Rofi’ Al Andalusi meneruskan pendidikan Islamnya. Hingga berhasil menjelma menjadi ulama besar di Negeri Tunisia.
Baca juga: Gaya Hidup dan Penampilan Wanita Tunisia
Inilah sepenggal pesan mahal dari kelamnya kisah Granada-Andalusia. Jadi, dakwah Islam wajib yang dilakukan dari generasi ke generasi, membutuhkan cara dan strategi yang matang. Bahkan, dalam situasi yang paling genting sekalipun.