Thomas Stanford Raffles, Gubernur Jenderal Inggris, juga memiliki pandangan serupa. Dalam catatan sejarahnya, Raffles mengecam jamaah haji karena dianggap sok suci dan berpotensi menghasut rakyat untuk berontak. Kebijakan politis haji kemudian diterapkan secara menyeluruh pada tahun 1859 melalui aturan khusus yang mengatur mekanisme penerimaan orang yang baru pulang haji.
Mekanisme pengawasan ini melibatkan serangkaian ujian bagi para jamaah haji yang baru pulang. Jika mereka lulus ujian, mereka diharuskan menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Selain itu, mereka juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, seperti jubah ihram dan sorban putih.
Latar belakang aturan ini berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah kolonial. Di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji, salah satunya adalah Perang Jawa (1825-1830). Oleh karena itu, pemerintah kolonial mengambil langkah-langkah preventif untuk mengawasi dan mengendalikan aktivitas jamaah haji.
Sayangnya, arus dekolonisasi di Indonesia pasca-kemerdekaan tidak melunturkan panggilan politis tersebut. Alhasil, panggilan itu tetap terwariskan lintas generasi. Meskipun gelar haji bukan lagi digunakan untuk tujuan politik, tradisi ini masih berlanjut hingga saat ini.