• Photo :
        • dr. Tirta,
        dr. Tirta

      Tahun 1998, ketika negara ini mengalami krisis politik yang berimbas pada krisis ekonomi dan krisis kemanusiaan, Tirta dan keluarganya mengalami hal yang buruk. Pecah konflik SARA membuat Tirta menjadi skeptis pada agama dan kemanusiaan, lalu akhirnya memilih menjadi atheis. 

      "Yang dari situ aku ngerasain tragedi 98 di Solo, pada waktu itu nyokap loncat dari lantai 2 Bank, pilihannya cuma dua mati dibakar atau loncat, nyokap pilih loncat. Dari situ aku tahu tentang rasialisme, SARA, agama, dan aku memutuskan untuk atheis dari dulu SD, SMP, SMA," tuturnya. 

      Namun persepsi yang berangkat dari kekecewaan itu mulai berubah ketika Tirta kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pergumulannya dengan beragam karakter orang yang berbeda agama, ras dan suku memberi nuansa baru dalam kehidupan Tirta muda. 

      Tirta mendapat perjalanan spiritual baru di kampus tersebut. Di usia 23 tahun, ia mantap memilih Islam dan memutuskan menjadi mualaf. 

      "Cuma ketika aku masuk UGM, aku ketemu dengan berbagai macam orang karakter, kalau kita di kampus itu banyak kawan dari suku mana, suku mana. Dari situ aku terbuka dan aku memutuskan untuk mualaf di usia 23 tahun," ujarnya.  dan ya sudah, aku bisa menghargai agama lain Jadi sekarang kalau ada orang beribadah atau apa, aku tidak langsung close minded ya, dari situ aku respect," katanya menjelaskan.

      Kini di usia yang masih 29 tahun, dokter Tirta mengaku semakin bisa menghargai agama lain. Jika ada orang yang beribadah, ia mengaku tidak close minded. Ia memilih respek terhadap pilihan seseorang beragama dan menjalankan agamanya. 

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan