• Photo :
        • dr. Tirta,
        dr. Tirta

      Sahijab – Nama dokter Tirta menjadi populer setelah COVID-19 menjadi pandemi di negeri ini.Kelakuannya untuk terjun langsung melakukan edukasi ke masyarakat menarik perhatian publik. Kisah hidupnya juga unik, pernah jadi atheis, dan akhirnya jadi mualaf.

      Pria bernama lengkap Tirta Mandira Hudhi ini tak berhenti mengampanyekan agar publik memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Ia tak peduli meski, menurut pengakuannya, kerap dicibir, dimarahi bahkan diludahi akibat kampanye yang ia lakukan. 

      Kini dr.Tirta kerap diundang menjadi pembicara atau narasumber di berbagai diskusi tentang COVID-19. Sikapnya yang cenderung arogan sepertinya malah menjadi perhatian dan daya tarik khusus. Ketika bicara dan menjelaskan, dr.Tirta bicara dengan terbuka, blak blakan, dan tanpa melakukan sensor atas ucapannya. 

      Tapi, dibalik sikapnya hari ini, dokter yang bergaya ala oppa oppa Korea ini ternyata memiliki kisah relijius yang mendalam. Ia pernah menjadi atheis atas kesadaran sendiri dan setelah melalui peristiwa traumatis yang dialaminya secara mendalam. Namun, sebuah pergulatan lain akhirnya membuat dr.Tirta menjadi mualaf. Ia masuk Islam, dan bertahan hingga hari ini. 

      Baca juga: Pasien Sembuh COVID-19 Bisa Terinfeksi Lagi dengan Gejala Lebih Parah

      Dalam sebuah wawancara dengan tvOne, dokter Tirta menyampaikan sedikit kisahnya itu.

      "Aku lahir dalam kondisi yang jujur enggak enak ya. Bapakku adalah seorang petani, dia Jawa dan Muslim. Ibuku keturunan Chinese, dia lulusan pertanian tapi karena enggak ada duit, dia jadi karyawan bank juga tapi Non Muslim. Mereka nikah melahirkan aku anak tunggal karena enggak ada duit juga jadi anaknya cuma satu doang," ujar Tirta dalam acara Saatnya Perempuan Bicara di tvOne, Jumat, 16 Oktober 2020.

      Tahun 1998, ketika negara ini mengalami krisis politik yang berimbas pada krisis ekonomi dan krisis kemanusiaan, Tirta dan keluarganya mengalami hal yang buruk. Pecah konflik SARA membuat Tirta menjadi skeptis pada agama dan kemanusiaan, lalu akhirnya memilih menjadi atheis. 

      "Yang dari situ aku ngerasain tragedi 98 di Solo, pada waktu itu nyokap loncat dari lantai 2 Bank, pilihannya cuma dua mati dibakar atau loncat, nyokap pilih loncat. Dari situ aku tahu tentang rasialisme, SARA, agama, dan aku memutuskan untuk atheis dari dulu SD, SMP, SMA," tuturnya. 

      Namun persepsi yang berangkat dari kekecewaan itu mulai berubah ketika Tirta kuliah di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Pergumulannya dengan beragam karakter orang yang berbeda agama, ras dan suku memberi nuansa baru dalam kehidupan Tirta muda. 

      Tirta mendapat perjalanan spiritual baru di kampus tersebut. Di usia 23 tahun, ia mantap memilih Islam dan memutuskan menjadi mualaf. 

      "Cuma ketika aku masuk UGM, aku ketemu dengan berbagai macam orang karakter, kalau kita di kampus itu banyak kawan dari suku mana, suku mana. Dari situ aku terbuka dan aku memutuskan untuk mualaf di usia 23 tahun," ujarnya.  dan ya sudah, aku bisa menghargai agama lain Jadi sekarang kalau ada orang beribadah atau apa, aku tidak langsung close minded ya, dari situ aku respect," katanya menjelaskan.

      Kini di usia yang masih 29 tahun, dokter Tirta mengaku semakin bisa menghargai agama lain. Jika ada orang yang beribadah, ia mengaku tidak close minded. Ia memilih respek terhadap pilihan seseorang beragama dan menjalankan agamanya. 

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan