• Photo :
        • Pekerja menyelesaikan pembuatan gitar listrik di pabrik alat musik Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat,
        Pekerja menyelesaikan pembuatan gitar listrik di pabrik alat musik Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

      Namun, sebagaimana yang dikatakan Al-Ghazali, larangan tersebut tidak ditunjukkan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan disebabkan karena “sesuatu yang lain” (amrun kharij). Di awal-awal Islam, kata Al-Ghazali, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras. 

      Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu). Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakang dengan prinsip ketakwaan, dst. Penilaian seperti itu, mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqih yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal. 

      Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya, musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi. 

      Memang, sejak awal seringkali terjadi ketegangan antara (pandangan) fiqih dan tasawuf. Yang pertama lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal dengan berpegang kuat pada teks-teks agama (Alquran dan Hadits). Sedangkan yang kedua, lebih menitik beratkan pada substansinya dengan berpijak pada realitas kongkret. 

      Menurut A-Ghazali, mendengarkan musik atau nyanyian tidak berbeda dengan mendengarkan perkataan atau bunyi-bunyian yang bersumber dari makhluk hidup atau benda mati. Setiap lagu memiliki pesan yang ingin disampaikan. Jika pesan itu baik dan mengandung nilai-nilai keagamaan, tidak jauh berbeda seperti mendengar ceramah/nasihat-nasihat keagamaan. Juga sebaliknya. 

      Dalam kaidah fiqih dikenal sebuah kaidah: “al-ashlu baqu’u ma kana ala ma kana” (hukum asal sesuatu bergantung pada permulaannya). Artinya, ketika sesuatu tidak ada hukumnya di dalam al-Quran maupun al-Hadis, maka sesuatu itu dikembalikan pada asalnya, yaitu halal (al-ashlu huwa al-hillu). 

      Atau dalam kaidah yang lain disebutkan: “Al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah illa ma dalla dalilun ala tahrimiha” (hukum asal di dalam muamalah adalah halal kecuali terdapat dalil yang melarangnya). Musik masuk dalam kategori muamalah, bebeda dengan ibadah yang kedudukannya tidak bisa ditawar lagi. 

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan