• Photo :
        • Gurun Sahara, Afrika Utara.,
        Gurun Sahara, Afrika Utara.

      Sahijab – Pada tahun 1333 Masehi, setelah melalui perjalanan panjang melewati wilayah Iran, Anatolia, dan Asia Tengah, Ibnu Battutah akhirnya singgah di tepi sungai Indus, Tepi Barat India, yang dikuasai Sultan Muhammad Tugluq (baca Tuglak), penguasa muslim di Delhi. Di sana, ia diangkat menjadi seorang qodi atau hakim agung di Kesultanan Delhi hingga lebih dari tujuh tahun lamanya. 

      Dalam sebuah misi ke Tiongkok, di tahun ke-8, ia dan rombongan Kesultanan Delhi singgah di Samudera Pasai, di Aceh saat ini, yang saat itu dikuasai penguasa muslim, Sultan Malik At-Tohir, seorang Sultan yang alim dan cerdas. Ya, Ibnu Battutah menorehkan jejak perjalanannya sampai ke Nusantara.

      Samudera Pasai di Aceh, memiliki kesan tersendiri bagi Ibnu Battutah. Dua minggu tinggal di negeri Nusantara ini, Ibnu Battutah benar-benar mendapat pengalaman baru yang membuatnya terkesan. Samudera Pasai yang sangat subur, segar, dan hijau kala itu menjadi pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan mempertahankan adat budaya setempat dengan sangat baik.

      Baca juga: Perjalanan Panjang Ibnu Battutah Bagian 1​

      Ibnu Battutah menceritakan dalam bukunya bahwa ia disambut dengan sangat baik di Samudera Pasai Aceh. Dia juga mengatakan bahwa sang Sultan merupakan raja yang dermawan, mencintai ilmu, dan mencintai jihad fi sabilillah memperjuangkan Islam. Keadaan alam yang indah dan adat budaya yang ramah selalu terkenang di benak Ibnu Battutah.

      Dari dulu disebut Ibnu Battutah bahwa di Sumatera itu banyak sekali gajah, subhanallah. Gajah sampai hari ini juga menjadi simbol lambang di Aceh.

      Ibnu Battutah menyebutkan bahwa kendaraan istimewa kerajaan adalah gajah dan kuda. Kalau sultan sedang naik gajah, maka pasukan akan naik kuda. Demikian sebaliknya, bila Sultan naik kuda, maka seluruh pasukan naik gajah.

      Unik sekali, dan bagaimana rombongan Battutah dijamu dengan istimewa di Samudra Pasai, sambil menyebutkan beberapa tanaman khas Sumatera, pohon kemenyan, cengkih, sampai kampar. Subhanallah, inilah surga dunia, kekayaan alam terbaik di dunia.

      Ibnu Battutah singgah selama beberapa minggu dan disempatkan merayakan pernikahan putra Sultan Malik At-Tohir dan mencatat tiap detail adat pernikahan di Kesultanan Samudera Pasai. 

      Seusai misinya, Ibnu Battutah memutuskan kembali ke Mekah, melewati India untuk menunaikan ibadah hajinya di tahun 1348 Masehi. Dari Mekah, ia memutuskan untuk kembali ke negerinya, Maroko. Tiba di kampung halaman di Tanjir, ia mendapati orang tuanya telah lama tiada.

      Sungguh petualangan dan kisah Islami yang sangat fenomenal dan istimewa, setiap perjalanannya selalu diawali dari Tanah Suci Mekah, dan berakhir kembali di Mekah. Kota Suci Mekah seakan menjadi poros dari segala petualangannya.

      Sejak kepulangannya ke Tanjir, di usianya 45 tahun, ia sempat berkelana kembali ke Andalusia dan kawasan Afrika. Dalam sebuah kawasan yang belum pernah tersentuh penjelajah manapun di dunia, akhirnya Ibnu Battutah kembali ke negerinya di tahun 1355 dan mendiktekan semua pengalaman petualangannya pada sahabatnya yang bernama Ibnu Juzza’iy. Pengalaman itu terkumpul dalam kitab berjudul ‘Rihlah Ibnu Battutah’.

      Baca juga: Empat Hikmah dari Kisah Nabi Daud

      Pada tahun 1368 Masehi, Ibnu Battutah meninggal dunia, meninggalkan pengalaman perjalanan panjang sejauh 120 ribu kilometer dan singgah di 44 negara dalam 30 tahun.

      Klik KHAZANAH Islamic Newsletter/Selo Ruwandanu

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan