• Photo :
        • Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi,
        Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi

      Seorang pemberi gratifikasi mengharapkan sesuatu dari penerima, untuk kepentingan pribadinya dalam bentuk imbalan. Maka, praktik semacam ini justru akan menambah nafsu (lobbha) atau keserakahan.

      "Agama Hindu mengajarkan agar manusia mengamalkan asih, puniya, dan bhakti di dalam semesta ciptaan-Nya. Konsep dasar ini menjadi petunjuk bagi pemeluknya dalam menjalani empat jenjang kehidupan (Catur Asrama) dengan baik untuk mencapai moksa, atau lepas dari ikatan duniawi," kata Wamenag. 

      Manusia, lanjut Zainut, tentu membutuhkan materi (arta) dan mempunyai keinginan (kama) untuk menopang kehidupannya. Untuk memenuhi kedua aspek tersebut, segala perbuatan harus berdasarkan pada darma atau ajaran tentang kebenaran, pandangan dan tuntunan hidup. 

      "Memperoleh arta dan kama dari perbuatan yang menyimpang dari darma, maka tidak ada manfaatnya bagi kehidupan, hanya akan membawa pelakunya pada penderitaan," tutur Zainut.

      Begitu juga dengan Agama Katolik dan Kristen, yang turut mengecam praktik gratifikasi. Ada konsep persembahan sebagai pemberian yang berkenan kepada Tuhan, yakni pemberian yang dilakukan dengan sukarela, hal itu tentu berbeda dengan gratifikasi. 

      "Karena, gratifikasi merupakan pemberian yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan tugas atau kewajibannya," pesan Wamenag. 

      Dalam Perjanjian Lama, dituliskan "Suap orang janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar (Keluaran 23:8).

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan