• Photo :
        • Masjid dan Gereja di Lebanon,
        Masjid dan Gereja di Lebanon

      Sahijab – Di deretan negara-negara Timur Tengah, Lebanon konon masuk kategori negara paling damai. Beirut, Kota yang pada Selasa kemarin, 5 Agustus 2020, terkena musibah ledakan itu masih menyimpan kedamaian yang mungkin mustahil terlihat di negara lain. Toleransi di Lebanon, tidak hanya di level agama, bahkan di level sekte.

      Dubes Luar Biasa Berkuasa Penuh RI untuk Lebanon, Hajriyanto Y. Thohari, seperti dikutip Sahijab dalam program Ngobrol Pintar (NGOPI) di TV MUI, yang dipandu Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat MUI, KH Cholil Nafis, mengungkapkan hal tersebut. 

      “Saya pernah melihat dengan mata kepala, ketika sebuah demonstrasi berlangsung pada Jumat di Beirut. Maka, yang Muslim Sunni itu menjalankan sholat Jumat di jalan, di antara shaf-shaf  sholat tersebut, peserta protes dari Kristen Maronit atau Ortodoks itu berdiri dengan membaca kitab sucinya,” katanya. 

      Baca juga: Awal Islam Masuk Lebanon​

      Bahkan, menurut Hajriyanto, masjid terbesar di Beirut, yaitu Masjid Al Amin, berbagi dinding dengan Gereja Katedral St George di Kota Beirut, yang nyaris sama besarnya, sama megahnya, dan sama indahnya dua bangunan itu. “Dua-duanya itu sering menjadi ikon, ketika orang mengambil gambar tentang Beirut,” tambahnya. 

      Hajriyanto mengatakan, kondisi semacam itu tidak lepas dari komitmen elite politik Lebanon. Setelah melalui perang saudara yang begitu panjang sejak 1970-1990, elite politik di Lebanon, menyepakati kata damai melalui perjanjian Thaif. Uniknya, sesuai artinya, isi perjanjian Thaif  ini kesepakatan pembagian kekuasaan berdasarkan 18 sekte yang ada di Lebanon.

      Isi perjanjian seperti itu, sebetulnya sudah ada sejak Lebanon merdeka dari Prancis pada 1943, di mana posisi Perjanjian Thaif menguatkan kesepakatan sebelumnya dan disepakati sampai hari ini. 

      “Berdasarkan kesepakatan tersebut, Kristen Maronit itu jatahnya menjadi Presiden, Muslim Sunni itu menjadi perdana menteri/pemimpin kabinet, kemudian Syiah mendapatkan jabatan sebagai ketua parlemen. Kemudian, Sekte Druze mendapatkan jabatan kepala staf angkatan bersenjata Lebanon (LAF) dan terus dielaborasi sampai ke bawah,” ujarnya. 

      Dia menjelaskan, pembagian kekuasan itu bukan hanya di pucuk, misalnya anggota parlemen itu ada 122, melainkan dibagi Muslim separuh, Kristen separuh, separuh di Kristen dibagi lagi berdasarkan sekte-sekte, ada Maronit, Ortodoks, ada Protestan dan sebagainya. Sementara itu, yang Muslim yang separuh tadi dibagi lagi menjadi Sunni, Syiah, Druze, yang dihitung sebagai porsinya Muslim.  

      Dia menambahkan, kesepakatan seperti itu tetap dipegang teguh karena elite politik sadar akan pentingnya menjaga itu. Sebab, kesepakatan itu ada di level elite, maka mereka langsung mensosialisikannya kepada internal (sekte) masing-masing.

      Selain kesadaran elite, ujar Hajriyanto, masyarakat bawah juga sadar pentingnya perjanjian ini. Setiap kali muncul riak gejolak, mereka langsung teringat pahitnya perang saudara dan itu membuat perdamaian antarsekte di sana terjaga kembali.  

      “Kalau ditanyakan kepada golongan tua, yang mengalami konflik parah ’70-an sampai ‘80-an, itu ya satu-satunya solusi adalah menaati Perjanjian Thaif tersebut dan itulah yang menjamin kerukunan dan perdamaian, serta kerja sama. Sekali ada tanda-tanda kesepakatan dilanggar satu pihak, maka itu akan menimbulkan benih-benih perpecahan,” tegas Hajriyanto.

      Baca juga: Ledakan Lebanon, Ustadz Yusuf Mansur Ingatkan Dzikir Pagi Sore​

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan