• Photo :
        • Penyelenggaraan Ibadah Haji 1440H/2019,
        Penyelenggaraan Ibadah Haji 1440H/2019

      Sahijab – Ibadah haji merupakan salah satu kuwajiban bagi setiap umat Islam untuk menunaikannya dan merupakan rukun Islam yang kelima. Hal tersebut, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT di dalam Alquran yang artinya “.... dan mengerjakan ibadah haji adalah kuwajiban bagi manusia kepada Allah bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Maka, barang siapa yang mengingkari kuwajiban haji, sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan  sesuatu) dari semesta alam.“ ( Q.S. Ali Imran : 97).
       
      Karena itulah, menurut Penghulu Madya KUA Kec. Arut Selatan Kab. Ktw. Barat Prop. Kal-Teng, H. Subiono, seperti dikutip Sahijab dari tulisannya dalam laman Kemenag, selama seseorang mengakui bahwa dia itu orang Islam dalam hatinya, pasti ada dorongan untuk pergi ke Baitullah, lantas berdoa di tempat-tempat yang mustajabah, seperti Multajam, shofa, Marwa, mengunjungi makam panutan dan teladan kita, Rasulullah Muhammad SAW, lalu duduk bersimpuh memanjatkan doa di Raudhah dan tempat-tempat mustajabah lainnya.

      “Besar kecilnya dorongan seseorang untuk menunaikan ibadah haji tersebut, tentunya juga dipengaruhi oleh kuat dan lemahnya keimanan yang dimiliki seseorang. Semakin kuat keimanan seseorang, maka dorongan untuk pergi haji juga semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, semakin tipis keimanan seseorang, maka dorongan untuk pergi haji juga semakin kecil,” ujarnya.

      Baca juga: Arab Saudi Pastikan Seluruh Jemaah Haji Bebas Corona
        
      Meskipun pergi haji itu, merupakan sebuah kewajiban, namun realitasnya dalam kehidupan masih banyak umat Islam yang selama hidupnya tidak dapat memenuhi panggilan Nabiyullah Ibrahim AS. Karena, memang banyak faktor yang terkait dengan Ibadah haji ini. Seseorang tidak dapat pergi haji bisa di sebabkan faktor jasadiyah, misalkan karena secara fisik tidak memungkinkan seperti sakit misalkan. Meskipun keinginan ada dan bekal mencukupi, tetapi karena secara fisik tidak memungkinkan, maka orang tersebut juga belum dapat melaksanakan ibadah  haji.

      Mungkin juga, karena faktor maliyah  atau belum memilki bekal yang cukup untuk membayar ongkos naik haji, misalkan meskipun fisiknya sehat. Maka, seseorang juga tidak dapat menunaikan ibadah haji. Ada juga yang disebabkan faktor qolbiyah/rohaniyah, yakni terkait  dengan keimanan seseorang. Banyak kita lihat dalam kehidupan di masyarakat yang secara fisik sehat, secara bekal telah cukup, tetapi karena keimanannya masih rendah, tidak juga mau menunaikan ibadah haji. Dengan kata lain, banyak faktor yang menyebabkan seseorang sampai Allah memanggil keharibaannya, (meninggal) belum sempat  juga menunaikan ibadah haji dalam hidupnya.

      Lalu, bagaimana hukum menghajikan orang tua yang telah meninggal dunia?

      Peristiwa seseorang yang tidak dapat menunaikan ibadah haji sampai yang bersangkutan meninggal dunia tersebut, dapat terjadi kepada siapapun juga, termasuk bisa terjadi kepada kedua orang tua seseorang. Tatkala orang tua seseorang telah meninggal dunia dan kebetulan anak-anaknya diberikan oleh Allah kesempatan dan kemapanan ekonomi, dan fisik, bisakah secara hukum anak menghajikan dengan niatan untuk orang tuanya yang sudah meninggal dunia.
       
      Untuk menjawab hal tersebut, berdasarkan pendapat dari Jumhur Ulama, maka sebagian besar ulama membolehkannya. Bahkan, termasuk dalam perbuatan yang mulia sebagai salah satu wujud “birrul walidain“ atau bakti kepada orang tua.

      Menurut Subiono, banyak sekali hadits yang bisa dijadikan sebagai sandaran tentang dibolehkannya anak menghajikan orang tuanya yang telah meninggal, meskipun ada juga pendapat yang melarangnya, di antara hadits yang membolehkan adalah:
       
      a. Hadits Rasulullah yang menceritakan bahwa “ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, Ya Rasulullah, ayahku meninggal, padahal di pundaknya ada tanggungan haji. Apakah aku harus melakukannya untuknya? Rasulullah menjawab, “Apakah kalau ayahmu meninggal dan punya tanggungan utang kamu wajib membayarnya? Iya, jawab orang laki-laki tersebut. Maka, Rasulullah menjawab berhajilah untuknya. (HR. Dar Quthni)
       
      b. Hadits riwayat dari Ibnu Abbas, seorang perempuan dari Bani Juhanah datang kepada Rasulullah SAW, bertanya, ya Rasulullah, ibuku pernah bernadzar ingin melaksanakan ibadah haji, hingga beliau meninggal. Padahal, beliau belum pernah melaksanakan ibadah haji tersebut, apakah aku boleh menghajikannya untuknya? Rasulullah menjawab, hajikanlah untuknya, kalau ibumu punya utang, kamu juga wajib membayarnya bukan? Bayarlah utang Allah, karena hak Allah lebih berhak untuk dipenuhi. (HR. Bukhori dan Nasai)
       
      Dan, masih banyak lagi hadits-hadits Rasulullah yang senada yang redaksinya berbeda, tetapi isi kandungannya hampir sama. Diperbolehkannya anak menghajikan orang tuanya tersebut, baik harta yang dipergunakan untuk menghajikan tersebut, sepenuhnya dari harta benda anaknya, maupun harta benda yang diambil dari peninggalan orang tua yang telah meninggal.
       
      Meskipun demikian, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi apabila seorang anak ingin menghajikan orang tuanya, di antaranya adalah bahwa anak yang melakukan ibadah hajinya tersebut haruslah terlebih dahulu telah berhaji untuk dirinya dan tidak boleh pula dalam waktu yang bersamaan satu orang menghajikan untuk lebih dari dua orang. Misalkan, satu anak untuk menghajikan bapak dan ibunya sekaligus.
       
      Pendapat di atas adalah berdasarkan jumhur ulama yang antara lain disandarkan pada Hadits Rasulullah SAW yang berbunyi: Dalam Hadits Syubrumah tatkala Nabi Muhammad SAW mendengar seorang laki-laki bertalbiyah “Labbaikalla’an Syubrumah“, maka beliau SAW bersabda kepadanya,apakah engkau telah berhaji untuk dirimu? Belum, jawabnya. Maka, Beliau bersabda, “berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah engkau untuk yubrumah. (HR. Ibnu Majah dan Al-Baihaqi)

      Berita Terkait :

Jangan Lewatkan