• Photo :
        • Ilustrasi Singapura,
        Ilustrasi Singapura

      REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA— Farah terpaksa harus melepas jilbabnya, yang dikenakannya sejak remaja, ketika bekerja di sebuah rumah sakit di Singapura.

      Meski tidak ada larangan berjilbab di Singapura, namun sebagian besar profesi melarang para karyawannya mengenakan atribut keagamaan, khususnya jilbab.

      Farah hanyalah satu di antara sekian banyak Muslim, sekitar 15 persen dari populasi penduduk Singapura, yang mendapatkan diskriminasi tersebut. Wanita yang bekerja sebagai fisioterapis itu bergabung dengan 50 ribu partisipan lain telah mendukung petisi online agar diskriminasi di tempat kerja ini segera dihentikan.

      “Mereka mengatakan kepada saya bahwa saya tidak dapat bekerja di sini jika saya mengenakan jilbab,” kata Farah yang dikutip di Reuters, Senin (21/9). 

      Di sisi lain, Halimah Yacob, presiden wanita pertama negara itu yang juga mengenakan jilbab, mengatakan, tidak ada tempat untuk diskriminasi. Namun, realitanya pembatasan tetap terjadi di berbagai bidang profesi, termasuk polisi wanita dan perawat.

      Perdebatan seputar hijab, bukanlah hal baru di Singapura, negara kota modern yang bangga dengan latar belakang multikultural dan multi rasanya. Negara ini didominasi etnis Tionghoa, banyak dari mereka menganut Buddha atau Kristen.

      Pada 2013, Menteri Urusan Muslim Yaacob Ibrahim mengatakan, mengenakan jilbab di tempat kerja akan "sangat bermasalah" untuk beberapa profesi yang membutuhkan seragam. Tahun berikutnya, Perdana Menteri Lee Hsien Loong mengatakan, masalah jilbab adalah tentang "masyarakat seperti apa yang ingin kami bangun di Singapura".  

      Berita Terkait :

      Disclaimer: Semua artikel di kanal Sindikasi ini berasal dari mitra-mitra Viva Networks. Isi berita dan foto pada artikel tersebut di luar tanggung jawab Viva Networks.

  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan