Dalam buku Sejarah tarawih karya Ahmad Zarkasih, dijelaskan bahwa kata tarawih merupakan bentuk jamah dari kata Tarwih yang berarti istirahat. Istilah tersebut ternyata tidak dikenal pada masa Nabi. Sebab, beliau menyebut salat tarawih dengan istilah qiyam Ramadhan.
Menurut Imam al-Mawardzi dalam Kitab Qiyam Ramadhan disebutkan bahwa terdapat beberapa kemungkinan salat sunnah ini disebut dengan tarawih. Salah satunya ketika apa yang terjadi pada masa Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah.
“Dari al-Hasan ra, Umar RAA memerintahkan kepada Ubai untuk menjadi imam pada qiyam Ramadhan, dan mereka tidur di seperempat pertama malam. Kemudian mengerjakan salat di dua per empat malam setelahnya dan selesai di satu per empat malam terakhir, mereka pun pulang dan sahur. Mereka membaca 5 sampai 6 ayat pada setiap rakaat. Dan salat dengan 18 rakaat salam setiap 2 rakaat dan memberikan mereka istirahat sekadar berwudhu dan menunaikan salat hajat mereka.” (Lihat Imam al-Mawardzi, Kitab Qiyam Ramadhan, halaman 59)
Bisa jadi hal peristiwa di atas menjadi alasan mengapa salat ini disebut dengan tarawih. Sebab, pada zaman Umar bin Khattab pelaksanaannya memberi banyak “Tarwih” alias “istirahat” untuk para makmum di setiap selesai dua rakaat.
Demikianlah asal-usul salat tarawih yang hingga hari ini umumnya dilakukan secara berjamaah di setiap masjid. Kendati bukan merupakan salat wajib, akan tetapi banyak umat Islam yang ingin mendapat kemuliaan Ramadhan dengan melaksanakannya di masjid.