Agar terhidar dari kesimpang siuran dan menjaga pihak yang berkelit, diwajibkan agar mencatat berapa jumlah utang tersebut, waktu dan tempat diserahkan utang tersebut. Dan, untuk menguatkan juga dituliskan nama si pemberi utang, nama penerima utang, serta nama saksi.
Sebab, pemberian pinjaman didasari membantu si peminjam dari kesulitan finansial. Tidak untuk mencari untung. Bahkan, lebih dianjurkan lagi memberi penangguhan waktu pembayaran jika si penerima utang masih mengalami kesulitan finansial dalam membayar utangnya. Bahkan, kalau bisa membatalkan atau menganggap lunas utang tersebut.
Dasar hukum ini dikuatkan dengan adanya firman Allah yang terdapat di Al-Baqarah ayat 280, juga sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: “Barang siapa ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan utang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan utangnya.” (Riwayat Ibu Majah)
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezaliman.” (Riwayat Bukhari). Dengan demikian, jika yang berutang sudah mampu membayar, maka diharuskan untuk melunasi walau jatuh tempo masih lama. Selain itu, alangkah lebih baik jika si penerima utang menyertakan hadiah, sebagai balasan atas kebaikan si pemberi utang. Ini dianggap wajar saja dilakukan, mengingat kebaikan seseorang yang mau membantu kita mengatasi kesulitan finansial.