Pendapat pertama, menurut dia, jamaah boleh menyelenggarakan sholat Jumat di masjid atau tempat lain yang telah melaksanakan sholat Jumat dengan model shift, dan pelaksanaan sholat Jumat dengan model shift hukumnya sah.
Pendapat kedua, jamaah melaksanakan sholat dzuhur, baik secara sendiri maupun berjamaah, dan pelaksanaan sholat Jumat dengan model shift hukumnya tidak sah.
Terhadap perbedaan pendapat di atas (poin a dan b), dalam pelaksanaannya jamaah dapat memilih salah satu di antara dua pendapat dengan mempertimbangkan keadaan dan kemaslahatan di wilayah masing-masing.
Kemudian, ia mengatakan, untuk ketentuan hukum perenggangan shaf sholat saat berjamaah, yaitu meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) pada sholat berjamaah merupakan keutamaan dan kesempurnaan berjamaah.
"Sholat berjamaah dengan shaf yang tidak lurus dan tidak rapat, hukumnya tetap sah, tetapi kehilangan keutamaan dan kesempurnaan jamaah," katanya.
Namun, untuk mencegah penularan wabah COVID-19, penerapan physical distancing saat sholat jamaah dengan cara merenggangkan shaf hukumnya boleh, sholatnya sah dan tidak kehilangan keutamaan berjamaah, karena kondisi tersebut sebagai hajat syar'iyyah.
Selain itu, kata Ni'am, menggunakan masker yang menutup hidung saat sholat hukumnya boleh dan sholatnya sah, karena hidung tidak termasuk anggota badan yang harus menempel pada tempat sujud saat sholat.