Sahijab – Prof. Dr. dr. Noroyono Wibowo, Sp.OG, Subsp.KFm (K), seorang dokter spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan, mendorong para ibu hamil untuk memantau konsumsi hati sebagai sumber zat besi pada tahap awal kehamilan karena tingginya kandungan vitamin A.
“Pada ibu hamil makan hati harus benar-benar dikontrol karena kadar retinoid atau vitamin A-nya sangat tinggi di hati, kalau melebihi ambang batas atas punya resiko untuk memberi kemungkinan cacat pada janinnya kalau di awal kehamilan,” kata Noroyono, yang berpraktik di RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, dikutip dari Antara, Rabu, 17 Januari 2024.
Hati, baik hati sapi maupun kambing, menjadi sumber zat besi yang memiliki kandungan lebih tinggi dibandingkan daging merah.
Selain mendapatkan asupan besi dari daging merah dan hati, ibu hamil juga dapat melengkapi kebutuhan besi dengan mengonsumsi makanan seimbang yang mencakup karbohidrat, protein, sayuran, dan kacang-kacangan. Hal ini bertujuan untuk mencegah anemia akibat kekurangan zat besi atau defisiensi besi.
“Ibu hamil kenapa rentan defisiensi besi karena untuk membangun janin itu sendiri membutuhkan besi. Sekarang, kan, nutrisi tidak hanya banyak-banyakan, tapi, seimbang. Jadi, dia juga membutuhkan karbohidrat, protein, lemak, dia juga membutuhkan mineral dan vitamin. Nggak bisa hanya sayur,” kata Noroyono.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, Noroyono menyatakan bahwa angka kejadian anemia pada kehamilan mencapai 48,9 persen, dan sekitar 60-70 persen dari kasus anemia disebabkan oleh defisiensi besi.
Gejala awal yang dapat diwaspadai pada ibu hamil yang mengalami anemia defisiensi besi meliputi kelelahan yang berlebihan dan melambatnya reaksi otak.
Jika terdapat tanda dan gejala tersebut, Noroyono menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kadar hemoglobin. Zat besi tidak hanya berperan dalam pembentukan eritrosit (sel darah merah) dalam hemoglobin, tetapi juga penting untuk produksi energi.
Zat besi juga merupakan komponen dalam pembentukan neurotransmitter seperti serotonin, yang berperan dalam fungsi berpikir dan bereaksi.
Noroyono menjelaskan bahwa kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan janin, baik pertumbuhan yang terlalu besar maupun terlalu kecil, karena zat besi juga berperan dalam pembentukan tiroid.
Kadar zat besi dalam darah juga diperlukan untuk mengikat oksigen dan karbon dioksida yang esensial untuk oksigenasi janin.
“Besi berhubungan dengan pembentukan tenaga, besi berhubungan dengan pembentukan neurotransmitter untuk saraf. Besi juga berhubungan dengan tiroid dan paratiroid maka berhubungan juga dengan insulin atau untuk tumbuh kembang bayi. Jadi, kekurangan besi dampaknya banyak sekali,” ungkapnya.
Kekurangan zat besi juga dapat berdampak pada masa pascapersalinan atau setelah kehamilan. Saat melahirkan, perempuan yang mengalami kekurangan zat besi mungkin akan merasakan kelelahan yang berlebihan, sehingga proses persalinan dapat menjadi lebih lama.
Kekurangan zat besi juga meningkatkan risiko perdarahan karena kontraksi rahim tidak mencukupi. Perdarahan yang berlebihan selama persalinan dapat mengakibatkan risiko kematian.
Noroyono menyarankan agar perempuan yang sedang hamil pada trimester pertama menjalani pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL) untuk memastikan kemungkinan adanya anemia.
Pemeriksaan ini mencakup penilaian hemoglobin, hematokrit, jumlah lekosit, trombosit, dan evaluasi faktor nutrisi lainnya, sehingga dapat terwujud kehamilan yang sehat dan pertumbuhan janin yang optimal.