• Photo :
        • Ilustrasi bulan Muharram.,
        Ilustrasi bulan Muharram.

      Ahlussunah tidak terlalu ceroboh, sebagaimana kelompok yang pertama dan tidak ekstrem sebagaimana yang kedua. Ahlussunnah berpandangan bahwa dalam menentukan halal-haram (hukum agama) harus berdasarkan kumpulan hadits shahih. Namun, apabila untuk pendorong amal ibadah, hadits dhaif boleh digunakan asalkan tidak sampai maudhu’ (palsu).

      Menurut Ustadz Ahmad Mundzir, mengisi bulan Asyura dengan berbagai macam ibadah sebagai bentuk kebahagiaan atas kenikmatan-kenikmatan yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada orang-orang shalih terdahulu, selama tidak bertentangan dengan syari’at tentu hukumnya sah-sah saja.

      “Yang tidak boleh adalah meyakini, jika amalan tersebut dianjurkan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW, sedangkan Nabi tidak mengajarkannya. Namun, pada prinsipnya beramal baik di hari yang baik nilainya akan baik, asalkan tidak sampai meyakini bahwa hal ini dicontohkan secara khusus oleh Nabi Muhammad SAW, apalagi sampai menyebarkannya kepada masyarakat. Kedua hal terakhir tersebut, tidak diperbolehkan,” ujarnya.

      Contoh hadits tak shahih seputar Muharram adalah hadits tentang memakai celak (penggaris mata) pada hari Asyura yang masyhur di tengah masyarakat. Kaum Ahlussunah harus fair bahwa sumber hadits tersebut tidak jelas, alias maudhu’ sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Muhammad Mahmud al-Hanafi dalam Umdatul Qari’ Syarah Shahih al-Bukhari menyebutkan:   

      النَّوْع السَّادِس: مَا ورد فِي صَلَاة لَيْلَة عَاشُورَاء وَيَوْم عَاشُورَاء، وَفِي فضل الْكحل يَوْم عَاشُورَاء لَا يَصح، وَمن ذَلِك حَدِيث جُوَيْبِر عَن الضَّحَّاك عَن ابْن عَبَّاس رَفعه: (من اكتحل بالإثمد يَوْم عَاشُورَاء لم يرمد أبدا) ، وَهُوَ حَدِيث مَوْضُوع،   

      Artinya: “Nomor enam: Hadits yang menjelaskan tentang malam Asyura’ dan hari Asyura’, dan dalam keutamaan memakai celak pada hari Asyura’ tidak shahih. Di hadits tersebut terdapat informasi dari Juwaibir dan al-Dhahhak dari Ibnu Abbas yang dianggap marfu’ dengan konten ‘Barangsiapa memakai celak pada hari Asyura’ tidak akan terjangkiti penyakit beleken selamanya’. Hadits ini maudhu’ (palsu).”   

      Dengan adanya hadits-hadits demikian, masyarakat perlu menyeleksi mana hadits yang shahih, dhaif maupun yang maudhu’.Yang perlu diberikan pemahaman secara utuh kepada masyarakat bahwa dhaif itu bukan maudhu’ dan maudhu' bukan dhaif. Apabila derajatnya baru dhaif, sebagaimana yang masyhur dalam ilmu hadits, ahlus sunnah berpendapat tetap boleh diamalkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan keutamaan amal (fadhailul a’mal). Namun jika sudah dinyatakan palsu, harus dibuang jauh-jauh.    

      Berita Terkait :
  • Trending

    Obrolan

Jangan Lewatkan