Menjelang Idul Fitri, masyarakat Banten yang mampu berbondong-bondong membeli baju baru, Sementara masyarakat biasa hanya membeli kain yang kemudian dijahit menjadi baju baru. Siapa yang menyangka tradisi tersebut mengakar hingga saat ini, bahkan, saking melekatnya tradisi ini di masyarakat ada yang sampai beranggapan ‘bukan Lebaran kalau nggak pakai baju baru’.
Sementara dalam buku Islam di Hindia Belanda Penasehat Urusan Pribumi untuk Pemerintah Kolonial Belanda, Snouck Hurgronje menyatakan bahwa kegiatan beli baju baru jelang Lebaran mirip dengan tradisi perayaan tahun baru Eropa. Dia mencatat kebiasaan ini sudah ada sejak awal abad ke-20.
“Lebih banyak uang dikeluarkan di Betawi dibandingkan dengan kebanyakan tempat lain karena pembelian petasan, pakaian dan makanan pada hari Lebaran,” kata Snouck
Saat itu, lanjut dia, para bupati dan kepala wilayah melengkapi penampilan mereka dengan pakaian berupa kain pantalon berbenang emas, lengkap dengan sepatu bot menirukan penampilan Eropa.
Adapun untuk rakyat biasa hanya mempunyai sedikit pilihan dalam membeli pakaian baru. Pakaian mereka biasanya bergaya Arab. Namun, memasuki tahun 1900 rakyat biasa mulai memiliki banyak pilihan pakaian baru.
Semakin banyaknya pilihan model pakaian berimbas pada pertumbuhan industri tekstil di Hindia Belanda. Efeknya, pasar penjualan semakin luas. Berawal dari fenomena itu, waktu menjelang lebaran menjadi masa penjualan terbaik untuk pertumbuhan industri tekstil.