Sahijab – Banyak orang belakangan ini mengolah Ulat Jerman, untuk menjadi bahan konsumsi. Misalnya, sebegai campuran sambal atau rempeyek, seperti rempeyek udang/ebi, dll. Ada yang menyebutkan, kandungan gizinya sangat baik.
Bahkan, karena kandungan lemaknya juga tinggi, ada yang sengaja membudi-dayakannya untuk diolah menjadi minyak goreng. Karena, dianggap lebih ramah lingkungan. Sebagai pengganti minyak goreng dari kelapa sawit, yang memerlukan lahan sangat luas dan dianggap cenderung merusak (keseimbangan) lingkungan.
Baca juga: Pentingnya Menjaga Pola Hidup Halal Saat Pandemi Covid-19
Melihat hal tersebut, seperti dikutip Sahijab dari laman MUI, para ulama berpendapat bahwa sejatinya, penetapan hukum dalam Islam itu sederhana. Yaitu, merujuk pada ketentuan yang disebutkan di dalam Alquran dan hadis. Dari sini, maka dapat dipahami, makanan yang haram itu hanya sedikit, sebagaimana yang disebutkan secara spesifik di dalam Alquran maupun hadis. Sedangkan selebihnya, yang halal itu sangat banyak.
Dari sisi nash syariah, hukum tentang makan Ulat Jerman ini tidak ada di dalam Al-quran maupun hadis. Juga, tidak ada dalil nash yang sharih (secara jelas dan tegas) menyatakan keharamannya. Dalam hal ini, maka sebagai petunjuk dapat merujuk pada Kaidah Fiqhiyyah yang menyebutkan: “Al-ashlu fi al-asy-ya’i al-ibaahah, illaa maa dalla daliilu ‘alaa tahriimihi” (segala sesuatu itu pada dasarnya adalah mubah atau boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya).
Dengan demikian, dalam kaidah syariah, mengonsumsi Ulat Jerman itu termasuk kategori yang didiamkan. Oleh karenanya, sepanjang tidak dijelaskan dengan tegas tentang keharamannya, atau tidak menjijikkan, atau tidak membahayakan, maka Ulat Jerman itu boleh dikonsumsi.
Para ulama menafsirkan dan menjelaskan, hal-hal yang didiamkan itu juga berarti Ma’fu ‘Anhu, hal yang dimaafkan. Artinya, dibolehkan atau halal hukumnya, kecuali kalau menjijikkan dan/atau membahayakan. Dalam hal ini berlaku kaidah hukum yang bersifat umum, yaitu kemanfaatan dan kemaslahatan. Kalau bermanfaat dan membawa maslahat (kebaikan), maka diperbolehkan. Dan sebaliknya, kalau membahayakan, maka terlarang: “Laa dhoror wa laa dhiror”. Tidak boleh membahayakan atau menimbulkan bahaya. Kalau berbahaya, maka menjadi haram.