Sahijab – Dalam upaya melawan pandemi COVID-19, pemerintah mengambil kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB yang berlaku sejak April 2020. Karakter demografi di Indonesia yang berbeda-bedapun menjadi tantangan tersendiri bagi pelaksanaan PSBB tersebut.
Panel Sosial untuk Kebencanaan yang terdiri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Kementerian Riset dan Teknologi-Badan Riset dan Inovasi Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, Politeknik Statistika STIS, U-INSPIRE, serta Jurnalis Bencana dan Krisis Indonesia merilis Studi Sosial COVID-19 #4: Pelaksanaan PSBB dan Dampaknya terhadap Ketahanan Masyarakat.
Baca juga: LIPI Uji Obat Herbal untuk Pasien Covid-19
Survei ini, seperti dikutip Sahijab dari LIPI, Jumat 12 Juni 2020, dilakukan secara daring pada periode 3-12 Mei 2020, dengan total valid responden sebanyak 919 orang berusia 15 tahun ke atas di wilayah PSBB DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten.
Berdasarkan pemetaan wilayah, data responden survei yang diperoleh, yaitu sebesar 53 persen di Jawa Barat, 34 persen di DKI Jakarta, dan 13 persen di Banten, dengan jumlah responden laki-laki dan perempuan berimbang. Responden didominasi mereka yang berumur 35-39 tahun dengan persentase 19 persen dan bersatus bekerja (67 persen). Berdasarkan status pekerjaan, responden didominasi oleh buruh/karyawan/pegawai dengan 79 persen.
Hasil survei mengenai kondisi anggota rumah tangga, rumah dan lingkungan mencatat 71 persen responden mengatakan rumah antarwarga di area tinggalnya berjarak dekat dan 65 persen responden tinggal di rumah yang berpenghuni 3-5 orang. Di sisi lain, 36 persen responden mengaku tidak tinggal dengan kelompok rentan COVID-19, meskipun 31 persen mengaku tinggal dengan anak-anak usia di bawah 10 tahun dan 28 persen tinggal bersama lansia.
Selama pelaksanaan PSBB, 3,2 persen responden mengaku tidak keluar rumah sama sekali; 82,5 persen responden mengaku hanya keluar rumah untuk membeli keperluan penting; 10,6 persen keluar rumah untuk bekerja; sementara sisanya melakukan aktivitas di luar rumah seperti sebelum pandemi COVID-19. Dari data responden yang tetap keluar rumah, 50 persen mengaku karena tidak dapat meninggalkan pekerjaan dan 33,3 persen karena merasa bukan bagian dari kelompok rentan.
Pelaksanaan kebijakan PSBB pun menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Sejumlah 40,3 persen responden mengkhawatirkan terganggunya proses pendidikan serta proses interaksi dengan tetangga dan kerabat. Sementara itu, lebih dari 30 persen mengaku khawatir tidak mampu membayar tagihan, tidak mampu mencari nafkah dan tidak dapat memperoleh layanan kesehatan.
Pemerintah pun telah mengalokasikan bantuan kebutuhan pokok, namun hanya 11,4 persen responden mengetahui hal tersebut. Mayoritas responden tidak mendapatkan bantuan kebutuhan pokok, karena memang tidak masuk dalam kategori penerima bantuan (48,4 persen), tetapi yang seharusnya berhak tetapi tidak mendapat bantuan persentasenya masih cukup tinggi, 7,2 persen mengaku tidak terdata dan 10,9 persen mengaku telah mendaftar, tetapi tetap tidak mendapat bantuan.
Hanya 43 persen responden yang mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah. Sebagian besar tidak mampu bertahan tanpa bantuan pemerintah dengan waktu bertahan bervariasi, tidak cukup bahkan untuk hari ini tiga persen.
Responden menilai PSBB telah memberikan dampak negatif seperti semakin mahalnya biaya untuk kebutuhan komunikasi dan internet (30,8 persen); berkurangnya layanan kesehatan (25,9 persen); kesulitan transportasi (21,0 persen); dan kesulitan memperoleh bahan makanan. Meskipun demikian, 57,5 persen responden mengatakan bahwa pandemi COVID-19 juga memberikan dampak positif, yaitu semakin eratnya hubungan kekeluargaan.
Hasil survei menunjukkan bahwa 69 persen responden menilai bahwa kebijakan PSBB berhasil di beberapa wilayah, namun tidak berhasil di beberapa wilayah lainnya; hanya delapan persen responden yang menilai PSBB berhasil sepenuhnya.
Menurut responden, ketidak-berhasilan pelaksanaan PSBB dipicu oleh kurangnya partisipasi masyarakat untuk menjalankan/mendukung PSBB (64 persen); kurangnya penegakan hukum (52 persen); kurangnya sosialisasi (30 persen); dan kurang jelasnya kegiatan apa saja yang dilakukan selama PSBB (29 persen).
Berdasarkan data evaluasi tersebut, pemerintah diharapkan dapat meningkatkan kegiatan sosialisasi PSBB, sistem pendataan penerima bantuan yang lebih akurat dan didasari dengan data faktual, meningkatkan penyediaan sarana layanan dasar PSBB, memberikan penalti/denda/hukuman bagi para pelanggar, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PSBB, mendorong kegiatan ekonomi padat karya, dan memberikan insentif bagi warga untuk kegiatan ekonomi produktif dan kreatif.
Baca juga: 5 Hikmah Wabah Corona Menurut Aa Gym